Alit mencoba melambai-lambaikan tangan. Kutu kupret! Mereka tetap tak peduli, kecuali lelaki bongsor dan pemandu sorak itu.
"Selamat pagi, Pak! Selamat datang di Bumi Sriwijaya!" Si Bongsor menyalaminya. Perempuan yang tadi duduk di sebelah Alit, melambai genit sambil mengedipkan mata. "Gacoan baru ya, Pak? Â Kalau orang ganteng dan terkenal, memang tak ke mana.
"Banyak bacot kau!" ketus Alit. Bongsor tersenyum. Mereka menuju parkiran, lalu memasuki sebuah mobil sedan hitam metalik. Pemandu sorak menaiki mobil lain, sebuah jeep sangar berbadan dan beroda besar.
Angin segar dari ac, membuat Alit lega. Dia menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan dengusan. Dia menoleh si bongsor. "Bagaimana pesananku, sudah kau laksanakan, Husnan!" si bongsor yang dipanggil Husnan, mengacungkan jempol jari tangan kanan.
"Paten semuanya! Perlengkapan Masjid, sudah. Para jamaah berharap bapak menang. Pembagian sembako, sudah. Rakyat meminta pembagian sembako diulang lagi, banyak yang belum kebagian."
"Bagaimana dengan serangan fajar?" tekan Alit.
"Mantap, Pak! Seenak rendang. Makan bisa nambah saking enaknya. Tambuah ciek." Husnan yang berasal dari Sumatera Barat itu terkekeh.
"Diam! Aku bukan sedang ingin membicaran makanan!"
"Oh, maaf, Pak."
***
Alit mondar-mandir di salah satu apartemen berlantai dua puluh itu. Semburan ac yang distel full, sama sekali tak bisa membungkan keringat di tengkuk. Berkali-kali dia duduk di sofa, membolak-balik buku the soup of chicken, berharap ada kisah yang meredakan degup di dada menjadi sedikit pelan.Â