Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dompet Ibu Fatimah

5 Mei 2019   07:30 Diperbarui: 5 Mei 2019   07:40 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini Jalan Sudirman macet. Iris terpaksa turun dari mobil angkutan kota, sebelum sampai di dekat sekolahnya. Iris setengah berlari di tengah lalu-lalang pejalan kaki yang memadati trotoar. Dia takut terlambat tiba di gerbang sekolah. Mudah-mudahan Pak Mali, penjaga sekolah, belum mengunci pintu gerbang.

Brukkk!

Tiba-tiba Iris menabrak seseorang. Barang bawaan orang itu jatuh berserakan. Iris meminta maaf berkali-kali. Orang itu hanya tersenyum kecil. Dia buru-buru mengumpulkan barang bawaannya, dan berlalu dari depan Iris yang masih melongo.

"Hai!" jerit Iris. Ada sesuatu yang tertinggal di atas trotoar itu. Sebuah dompet. Mungkin dompet orang tadi. "Bu!" Iris mencari-cari orang itu. Tapi orang itu sudah menghilang entah ke mana. Buru-buru Iris mengambil dompet itu, sebelum diraih oleh seorang lelaki bertampang menyeramkan.

"Hai, berikan ke sini, Bocah!" Laki-laki itu melotot.

"Ini dompet ibuku!" Iris terpaksa berbohong. Dia takut dompet itu jatuh ke tangan orang yang salah.

"Nah, itu dia copet tadi!" teriak beberapa orang dari kejauhan. Iris ketakutan. Jangan-jangan dia disangka copet. Tapi laki-laki bertampang menyeramkan itulah yang langsung berlari tunggang-langgang dikejar orang ramai. 

"Alhamdulillah!" Iris memasukkan dompet itu ke dalam tasnya. Kemudian dia berlari menuju sekolah.

Ah, ternyata tebakan Iris benar. Pintu gerbang sekolah baru saja dikunci oleh Pak Mali. Beruntung lelaki ramah itu masih mendengar Iris memanggilnya. Selamatlah teman kita ini. Namun, tetap tak selamat dari hukuman guru pelajaran pertama. Iris disuruh berdiri di depan kelas sambil mengangkat kaki sebelah hingga guru itu selesai mengajar.

"Kenapa kamu terlambat masuk sekolah, Ris?" tanya Adil saat jam istirahat. 

"Iya, jalanan macet tadi." Iris sengaja tak mau menceritakan masalah dompet itu. Dia berniat memberikannya langsung ke pemiliknya. Tadi, saat pelajaran Bahasa Indonesia, dia sempat membuka dompet itu. Ada beberapa kartu di dalamnya. Kartu atm, kartu kredit, kartu SIM, juga kartu tanda penduduk. Pemilik dompet itu adalah orang yang ditabrak Iris tadi.

Sepulang sekolah, dia tak langsung naik mobil angkutan kota menuju rumahnya. Dia menyetop bis kota yang mengarah ke alamat yang tertuju di kartu tanda penduduk itu. Dia ingat pernah bertanding sepak bola dengan anak SD lain di lapangan yang berdekatan dengan alamat itu.

"Nah, sudah sampai!" Lega juga hati Iris. Seorang tukang becak yang sedang mangkal di pinggir jalan, didekati Iris. "Pak, numpang tanya. Perumahan Garden di mana, ya?"

"Oh, tak jauh dari sini. Nanti Adik jalan lurus ke arah pohon besar itu, kemudian belok ke kiri. Tak jauh dari situ, Adik akan menemukan Perumahan Garden."

"Terima kasih banyak ya, Pak!" Iris sangat senang. Untuk pertama kalinya Iris berbuat nekad begini. Kalau sampai mamanya tahu, Iris bisa dimarahi. Sekarang kan lagi musim penculikan anak. Iris tahu kalau Tuhan selalu membantu orang yang berniat baik.

Ternyata menemukan rumah pemilik dompet itu ternyata tak mudah. Semua rumah di situ berbentuk hampir sama. Semuanya berpagar tinggi. Lagi pula hanya satu-dua rumah yang memiliki nomor. Aduh, bagaimana ini?

Beruntung Iris bertemu seorang lelaki seumuran papanya. Lelaki itu sedang menyuci mobil di halaman sebuah rumah berwarna biru.

"Pak, numpang tanya," kata Iris takut-takut. Dia melihat seekor anjing besar yang sedang tiduran di teras rumah itu.

"Iya, mau nanya apa, Dik?" Lelaki itu mendekati Iris. Anjing besar itu menggonggong, dan langsung berdiri. Lelaki itu berhasil mendiamkannya.

"Ini, anu, saya mau mencari rumah Ibu Fatimah," jawab Iris dengan jantung yang masih berdebar.

"Oh, Ibu belum pulang. Masih belanja di pasar. Ada perlu apa ya, Dik?" Lelaki itu membuka pintu pagar. Jantung Iris kembali berdebar. Kalau dia sampai mengatakan akan mengembalikan dompet itu kepada Ibu Fatimah, apakah lelaki itu tak berniat jahat? Bisa saja lelaki itu menyuruh Iris menitipkan dompet itu kepadanya. Bisa saja dompet itu tak diberikan kepada Ibu Fatimah. Atau, yang namanya Fatimah kan belum tentu seorang! Siapa tahu ada tiga atau empat Fatimah di Perumahan Garden.

Saat masih ragu-ragu menjawab pertanyaan lelaki itu, sebuah mobil berhenti di belakang Iris. Iris merasa senang karena seseorang yang keluar dari dalam mobil itu adalah orang yang ditabraknya tadi. 

"Bu, masih ingat saya, kan!" Iris langsung menyongsong perempuan itu.

"Siapa, ya?" Dahi perempuan itu berlipat. 

"Ibu Fatimah, kan?" tanya Iris. Perempuan itu mengangguk. "Saya Iris, Bu. Yang tadi pagi menabrak Ibu."

"Oh, iya, Ibu sampai lupa. Ada apa ke mari?" O, ternyata perempuan itu tak tahu kalau dompetnya sudah tercecer.

"Saya ingin mengembalikan dompet Ibu yang tercecer." Iris menyerahkan dompet itu. 

"Ya, Tuhan, kenapa saya sampai tak menyadari kehilangan dompet? Aduh, terima kasih ya, Dik! Terima kasih!" 

"Terima kasih kembali, Bu. Saya pulang dulu. Takut dicariin ibu saya." Iris langsung setengah berlari menuju jalan raya.

"Dik, tunggu!" teriak Bu Fatimah. Iris hanya membalasnya dengan lambaian. 

Di sepanjang perjalanan, Iris menyari-nyari alasan terbaik agar mamanya tak marah. Mamanya paling tak senang kalau Iris terlambat pulang sekolah tanpa alasan yang jelas. Kalau alasannya karena mengembalikan dompet Ibu Fatimah, pastilah mamanya semakin marah. Bukankah jarak sekolah ke rumah Bu Fatimah itu jauh? Lagi pula Iris ke sana sendirian. Seharusnya dia pulang ke rumah dulu!

Sesampai di rumahnya, Iris seketika terkejut. Alasan-alasan yang disusunnya sejak tadi, langsung buyar. Dia melihat Ibu Fatimah dan mamanya sedang berbincang di teras. Kenapa ya Ibu Faitmah tahu alamat rumah Iris?

"Nah, itu Iris sudah pulang." Mama Iris tersenyum seperti agak terpaksa. Iris merasa bersalah.

"Wah, anak anda yang hebat sudah pulang," ucap Ibu Fatimah. 

"Kok Ibu Fatimah tahu alamat rumah saya?" tanya Iris kebingungan.

"O, siapa yang tak tahu alamatmu penulis cilik yang terkenal? Ibu tadi baru sadar mengingat wajahmu yang sering nampang di koran. Buru-buru Ibu mencari rumahmu. Jadi satu-satu. Iris bisa menemukan rumah Ibu, Ibu juga berhasil menemukan rumah Iris." Tawa Ibu Fatimah berderai. Iris juga takut-takut tertawa. 

Saat menatap mata ibunya, Iris tak menemukan amarah di situ.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun