"Bu, masih ingat saya, kan!" Iris langsung menyongsong perempuan itu.
"Siapa, ya?" Dahi perempuan itu berlipat.Â
"Ibu Fatimah, kan?" tanya Iris. Perempuan itu mengangguk. "Saya Iris, Bu. Yang tadi pagi menabrak Ibu."
"Oh, iya, Ibu sampai lupa. Ada apa ke mari?" O, ternyata perempuan itu tak tahu kalau dompetnya sudah tercecer.
"Saya ingin mengembalikan dompet Ibu yang tercecer." Iris menyerahkan dompet itu.Â
"Ya, Tuhan, kenapa saya sampai tak menyadari kehilangan dompet? Aduh, terima kasih ya, Dik! Terima kasih!"Â
"Terima kasih kembali, Bu. Saya pulang dulu. Takut dicariin ibu saya." Iris langsung setengah berlari menuju jalan raya.
"Dik, tunggu!" teriak Bu Fatimah. Iris hanya membalasnya dengan lambaian.Â
Di sepanjang perjalanan, Iris menyari-nyari alasan terbaik agar mamanya tak marah. Mamanya paling tak senang kalau Iris terlambat pulang sekolah tanpa alasan yang jelas. Kalau alasannya karena mengembalikan dompet Ibu Fatimah, pastilah mamanya semakin marah. Bukankah jarak sekolah ke rumah Bu Fatimah itu jauh? Lagi pula Iris ke sana sendirian. Seharusnya dia pulang ke rumah dulu!
Sesampai di rumahnya, Iris seketika terkejut. Alasan-alasan yang disusunnya sejak tadi, langsung buyar. Dia melihat Ibu Fatimah dan mamanya sedang berbincang di teras. Kenapa ya Ibu Faitmah tahu alamat rumah Iris?
"Nah, itu Iris sudah pulang." Mama Iris tersenyum seperti agak terpaksa. Iris merasa bersalah.