Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ijah Sang Penari

20 April 2019   16:46 Diperbarui: 20 April 2019   16:50 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

"Biarlah aku dijemput Cakil saja."

"Dia siapamu?"

"Pacarku!"

* * *

Rombongan tari dan teater pimpinan Sangkur tiba-tiba heboh. Di belakang pentas, tak jauh dari warung kecil yang menyempil itu, ditemukan sesosok mayat penuh luka bacokan. Sesosok mayat itu adalah Sangkur. Sang pemimpin yang arogan. 

Masing-masing langsung terkejut. Tapi tak lama. Selanjutnya wajah mereka tenang. Di mata mereka muncul kepuasan. Sepertinya mereka senang melihat ketua itu tewas mengenaskan. Kalau boleh ditanya satu per satu, sebenarnya banyak di antara mereka yang ingin berbuat kasar kepada Sangkur. Tapi takut. Selain seorang ketua dan orang kaya, dikabarkan Sangkur memiliki ilmu kebal. Sekarang dia terkapar. Siapa orang pemberani yang sanggup membunuh lelaki itu?

"Kematian Sangkur berarti kematian grup kita," keluh Maddin setelah polisi membaya mayat Sangkur.

"Belum tentu. Sebaliknya ini adalah masa kebangkitan kita." Sekonyong Ijah muncul. Dia tersenyum penuh kemenangan.

"Masa kebangkitan? Ah, jangan mengaco! Darimana dana kita melanjutkan hidup grup ini?"

"Aku yang melanjutkan! Aku yang memimpin grup ini," jawabnya tenang. Lalu dia pergi bersama Cakil. Orang-orang di sekitar itu pun bengong.

Sementara Ijah tertawa puas di dalam hati. Pertama, karena sebentar lagi dia akan menjadi pemimpin sebuah grup tari dan teater yang besar. Kedua, ssst, bahwa sebenarnya dia telah berhasil membunuh Sangkur, meskipun dibantu oleh Cakil. Artinya, pemimpin yang arogan itu telah lenyap. Ketiga, ahhh! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun