"Biarlah aku dijemput Cakil saja."
"Dia siapamu?"
"Pacarku!"
* * *
Rombongan tari dan teater pimpinan Sangkur tiba-tiba heboh. Di belakang pentas, tak jauh dari warung kecil yang menyempil itu, ditemukan sesosok mayat penuh luka bacokan. Sesosok mayat itu adalah Sangkur. Sang pemimpin yang arogan.Â
Masing-masing langsung terkejut. Tapi tak lama. Selanjutnya wajah mereka tenang. Di mata mereka muncul kepuasan. Sepertinya mereka senang melihat ketua itu tewas mengenaskan. Kalau boleh ditanya satu per satu, sebenarnya banyak di antara mereka yang ingin berbuat kasar kepada Sangkur. Tapi takut. Selain seorang ketua dan orang kaya, dikabarkan Sangkur memiliki ilmu kebal. Sekarang dia terkapar. Siapa orang pemberani yang sanggup membunuh lelaki itu?
"Kematian Sangkur berarti kematian grup kita," keluh Maddin setelah polisi membaya mayat Sangkur.
"Belum tentu. Sebaliknya ini adalah masa kebangkitan kita." Sekonyong Ijah muncul. Dia tersenyum penuh kemenangan.
"Masa kebangkitan? Ah, jangan mengaco! Darimana dana kita melanjutkan hidup grup ini?"
"Aku yang melanjutkan! Aku yang memimpin grup ini," jawabnya tenang. Lalu dia pergi bersama Cakil. Orang-orang di sekitar itu pun bengong.
Sementara Ijah tertawa puas di dalam hati. Pertama, karena sebentar lagi dia akan menjadi pemimpin sebuah grup tari dan teater yang besar. Kedua, ssst, bahwa sebenarnya dia telah berhasil membunuh Sangkur, meskipun dibantu oleh Cakil. Artinya, pemimpin yang arogan itu telah lenyap. Ketiga, ahhh!Â