Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ijah Sang Penari

20 April 2019   16:46 Diperbarui: 20 April 2019   16:50 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

"Mempunyai kendaraan? Dia hanya mempunyai motor butut! Tapi aku memiliki mobil yang lebih cepat larinya ketimbang miliknya." Sangkur berkacak pingggang. Udara malam yang dingin menjadi pengap. Panas menggerahkan.

"Kami pikir mas tak ingin diganggu dengan persoalan sepele seperti itu. Jadi, biarlah aku yang menjemput Ijah," jawab Cakil sambil tertunduk.

"Kami pikir! Kami pikir! Nomong, dong! Jangan memutuskan sepihak saja sebelum bertanya langsung kepada orangnya."

Semua terdiam. Akhirnya Sangkur mengajak Ijah pulang bersamanya setelah menampar Cakil di tempat sepi. 

Ijah hanya menggerutu dalam hati. Di dalam mobil Sangkur yang melaju pelan, dia tak banyak berbicara. Meskipun tadi lelaki berkepala plontos itu menampar Cakil di tempat sepi, namun Ijah sempat melihatnya.

Hatinya panas. Dia benci melihat perbuatan Sangkur yang arogan. Bisanya hanya main bentak. Main pukul. Main paksa. Apa seperti itu sifat pemimpin? Ijah heran, kenapa orang seperti dia masih diangkat sebagai ketua dalam waktu cukup lama. Hampir sebelas tahun. Kalau dalam pemerintahan, diperkirakan dia menjabat dua periode lebih.

Kenapa anak buahnya dari dulu tak mendobrak dan memilih pemimpin baru? Ah, Ijah ingat cerita Cakil beberapa minggu lalu, sebelum dirinya mantap terjun di grup tari dan teater pimpinan Sangkur.

"Dari dulu kita memiliki pemimpin yang sama bernama Sangkur. Orangnya kasar, Arogan. Tapi tak seorang pun yang mampu menggulingkannya. Dia orang kaya. Kalau tak tetap menempatkannya sebagai sang ketua, bisa-bisa grup kita bubar. Sangkur pasti marah besar. Lalu, siapa lagi yang sanggup mendanai pagelaran-pagelaran? Kalau dari tiket atau saweran penonton, pasti tak mencukupi. Jadi, kau harus menjaga sikap dengannya. Harus baik-baik."

Harus baik-baik? Uh, melihat kelakuan Sangkur barusan, Ijah malahan marah besar. Dia paling anti melihat orang arogan. Itu pulalah yang menyebabkannya meminta cerai dari Latief, mantan suaminya, beberapa tahun lalu. Dia tak betah dianggap hanya sebagai jongos yang rela dibentak-bentak.

"Besok-besok, aku akan menjemputmu terus," kata Sangkur di depan rumah kontrakan Ijah.

Ijah membisu. Ingin diludahinya wajah lelaki itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun