Veronica tertawa lirih. "Masih mengingat hingga setangkai mawar itu kau tinggalkan di meja sana."Â
Heru melihat setangkai mawar untuk Palupi. Sepintas ada rasa berdosa menyelimuti dadanya. Tapi demi seorang Veronica yang menghiasi hari-harinya sejak lama, tentu tak masalah. Dia buru-buru membalas genggam jemari perempuan itu. Dia menuntunnya untuk berdiri. Musik mengalun pelan. Seperti pengunjung lain, mereka berdansa. Berpelukan erat, hingga dia dapat begitu lekat membaui aroma rambut perempuan itu.
Saat-saat yang sangat indah. Berdansa, saling bersitatap, bersantap dan tertawa lirih, membuat waktu terasa cepat berlalu.Â
Entah kenapa, Palupi seolah membiarkan mereka melepas rindu. Sampai pukul satu siang, dia belum datang juga. Heru pun seolah melupakannya.
Pukul tiga sore, terpaksalah Heru menyadari waktu. Terlalu lama bersantai di restoran itu dari pukul sepuluh pagi. Pelayan meletakkan bill di meja serta mengatakan dengan lembut bahwa waktu bersantai telah habis.Â
"Baiklah!" kata Heru sambil merogoh dompet. Tapi sebuah tangan mulus lebih cepat menggengkamkan uang ke tangan pelayan. Heru mendelik. Tak ada perempuan bernama Veronica di hadapannya. Hanya Palupi dengan tatap mata ceria.
Heru seperti ditindih gunung. Rasa bersalah yang membuatnya sesak. Tapi Palupi tetap ceria hingga mereka duduk di jok mobil. Ada apa dengan Palupi? Ke mana perginya Veronica? Tiba-tiba Heru melihat pisau seperti berlumur darah di dashboard.
"Palupi!" Heru mendelik. Sesosok tubuh terlentang dan bergelimang darah, membayang di matanya.
"Apa? Tak usah terkejut kenapa aku biasa-biasa saja setelah memergokimu bertemu perempuan itu. Restoran itu memang hebat. Apa saja bisa disediakannya, termasuk kenangan. Aku ingat saat kita masih sebatas sahabat, kau selalu bercerita tentang perempuan bernama Veronica. Ketika kau mengatakan cinta kepadaku, maka aku ingin kau bertemu Veronica, lalu melupakannya. Restoran itu rupanya bisa menghadirkan sosok perempuan dari masa lalumu itu. Sekarang kau puas, kan? Aku harap kau telah melupakannya, dan kita menikmati kue ulang tahunmu ini."
Heru menghembuskan napas lega. Dia menatap restoran yang tampak semakin mengecil. Suatu saat, dia pasti akan kembali ke sana. Dia tersenyum sambil menikmati kue tart. Sambil mengingat wajah Veronica. Tiba-tiba dia merasa sangat mencintai hujan. Tapi pisau berlumuran darah itu, bagaimana?
"Ru, tak kerja hari ini. Bangun, yok!"