Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan dari Masa Lalu

11 April 2019   05:23 Diperbarui: 11 April 2019   06:06 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay.com

Lelaki itu terpaku di depan sebuah restoran. Bau dan tetes hujan, membuatnya risih. Dari dulu dia benci hujan. Kalau kemudian dia rela berkunjung ke restoran itu, adalah demi Palupi. 

Lelaki itu melangkah perlahan ketika seseorang melambai ke arahnya. Dia melihat sebentar ke arah atap restoran. Dari situlah air mengucur pelan, menjalar di teritis, membasahi ujung selasar. Hujan itu hujan buatan. Menetes terus hingga restoran itu tutup.

"Sudah mesan tempat, Mas?" Orang yang melambai tadi adalah lelaki berpakaian hitam-hitam. Seorang pelayan yang langsung mengembangkan payung. "Dengan mas siapa?" Pelayan itu mengiringi lelaki itu.

"Heru!"

"Heru Prasetyo ya, Mas?" Pelayan itu membuatnya risih. Dia mengangguk pelan, memperjelas bahwa namanya adalah Heru Prasetyo. "Silahkan duduk di meja nomor empat. Mbak Palupi sebentar lagi tiba."

Heru duduk malas-malasan. Ditatapnya tetes hujan di seberang jendela. Betapa restoran itu mendapat berkah. Di luar sana kabut asap dan kemarau bertikai. Di dalam restoran terasa sejuk tanpa ac, kecuali kipas angin yang berputar pelan di langit-langit.

Heru menjentik bekas tetes hujan di kelopak mawar. Jam tangannya menunjukkan pukul sepuluh pagi. Waktu yang nyaman baginya melepaskan lelah, tidur hingga pukul dua belas siang. Tadi malam dia kebetulan dapat tugas shift malam di perusahaan penerbitan itu. 

Hmm, ke mana ya, Palupi? Heru merasa canggung dilirik beberapa pengunjung restoran, sebab sudah duduk beberapa menit, tapi tak memesan apapun meski hanya segelas air mineral.

Saat canggung itulah matanya melihat seorang perempuan berkulit putih mulus, bermata agak sipit. Wajah oriental yang selalu membuat Heru terharu-biru. Dia teringat teman esde-nya.  Cantik seperti perempuan itu. 

Hingga dia jatuh cinta, meski cinta monyet dan cinta kilat. Teman esde-nya itu hengkang ke negara tetangga, belum genap satu tahun cintanya bertunas. Gila! Esde sudah cinta-cintaan? Heru mengeleng-geleng.

Perempuan itu tersenyum. Heru seolah ditarik magnet amat kuat, melupakan wajah Palupi yang mengurung isi kepalanya. 

Dia meninggalkan seikat mawar di atas meja, dan perlahan melangkah mendekati perempuan itu.

"Sepertinya saya kenal anda. Tapi saya takut salah karena sudah lama kita tak bertemu." Tanpa sungkan Heru menarik kursi di seberang perempuan itu.

"Namamu masih Heru, kan? Heru Prasetyo?" Manik mata itu tajam menusuk jantung Heru. Degupannya terasa memburu. 

"Kau, kau Nica...."

"Veronica tepatnya!" Bibir itu bergetar. Manik mata itu berbinar. "Aku ingat namamu karena masih menyimpan sapu tangan pemberianmu."

Meski senang tak terkira, kebingungan menerabas benak Heru. Bagaimana mungkin dia dan Veronica bertemu lagi setelah puluhan tahun berpisah. Lagi pula, dulu sebelum mereka berpisah, Veronica mengatakan bahwa itu mungkin perpisahan mereka untuk selamanya. 

Heru tahu gadis kecilnya itu mengidap penyakit parah. Sekali dua gadis itu terbatuk parah. Suatu kali sampai mengeluarkan darah segar. Di belakang kantin sekolah, tubuh gadis itu bergetar. 

Heru mengangsurkan sapu tangan bertuliskan namanya. Gadis itu menyambut, dan menghapus darah segar yang mengotori bibir dan dagunya. Dua hari kemudian, gadis itu pun dibawa pergi oleh ayahnya ke negara tetangga.

"Ayahku pindah tugas. Aku juga akan berobat di sana. Ini perpisahan terakhir kita. Selamanya. Mungkin kita tak akan bertemu lagi." Dia menghambur mengejar ayahnya. Kisah cinta Heru berserakan di lantai selasar sekolah. Hasilnya, bapak guru  menyuruhnya berdiri di dekat papan tulis, karena Heru telah membolos jam pelajaran matematika.

"Masih mengingat masa lalu?" Veronica menggenggam jemari Heru. Petir menggelegar. Hujan menderas. Pelayan tersenyum seolah memberitahukan bahwa semua itu hanya buatan. 

"Iya, aku mengingatnya hingga sekarang."

Veronica tertawa lirih. "Masih mengingat hingga setangkai mawar itu kau tinggalkan di meja sana." 

Heru melihat setangkai mawar untuk Palupi. Sepintas ada rasa berdosa menyelimuti dadanya. Tapi demi seorang Veronica yang menghiasi hari-harinya sejak lama, tentu tak masalah. Dia buru-buru membalas genggam jemari perempuan itu. Dia menuntunnya untuk berdiri. Musik mengalun pelan. Seperti pengunjung lain, mereka berdansa. Berpelukan erat, hingga dia dapat begitu lekat membaui aroma rambut perempuan itu.

Saat-saat yang sangat indah. Berdansa, saling bersitatap, bersantap dan tertawa lirih, membuat waktu terasa cepat berlalu. 

Entah kenapa, Palupi seolah membiarkan mereka melepas rindu. Sampai pukul satu siang, dia belum datang juga. Heru pun seolah melupakannya.

Pukul tiga sore, terpaksalah Heru menyadari waktu. Terlalu lama bersantai di restoran itu dari pukul sepuluh pagi. Pelayan meletakkan bill di meja serta mengatakan dengan lembut bahwa waktu bersantai telah habis. 

"Baiklah!" kata Heru sambil merogoh dompet. Tapi sebuah tangan mulus lebih cepat menggengkamkan uang ke tangan pelayan. Heru mendelik. Tak ada perempuan bernama Veronica di hadapannya. Hanya Palupi dengan tatap mata ceria.

Heru seperti ditindih gunung. Rasa bersalah yang membuatnya sesak. Tapi Palupi tetap ceria hingga mereka duduk di jok mobil. Ada apa dengan Palupi? Ke mana perginya Veronica? Tiba-tiba Heru melihat pisau seperti berlumur darah di dashboard.

"Palupi!" Heru mendelik. Sesosok tubuh terlentang dan bergelimang darah, membayang di matanya.

"Apa? Tak usah terkejut kenapa aku biasa-biasa saja setelah memergokimu bertemu perempuan itu. Restoran itu memang hebat. Apa saja bisa disediakannya, termasuk kenangan. Aku ingat saat kita masih sebatas sahabat, kau selalu bercerita tentang perempuan bernama Veronica. Ketika kau mengatakan cinta kepadaku, maka aku ingin kau bertemu Veronica, lalu melupakannya. Restoran itu rupanya bisa menghadirkan sosok perempuan dari masa lalumu itu. Sekarang kau puas, kan? Aku harap kau telah melupakannya, dan kita menikmati kue ulang tahunmu ini."

Heru menghembuskan napas lega. Dia menatap restoran yang tampak semakin mengecil. Suatu saat, dia pasti akan kembali ke sana. Dia tersenyum sambil menikmati kue tart. Sambil mengingat wajah Veronica. Tiba-tiba dia merasa sangat mencintai hujan. Tapi pisau berlumuran darah itu, bagaimana?

"Ru, tak kerja hari ini. Bangun, yok!"

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun