Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan dari Masa Lalu

11 April 2019   05:23 Diperbarui: 11 April 2019   06:06 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki itu terpaku di depan sebuah restoran. Bau dan tetes hujan, membuatnya risih. Dari dulu dia benci hujan. Kalau kemudian dia rela berkunjung ke restoran itu, adalah demi Palupi. 

Lelaki itu melangkah perlahan ketika seseorang melambai ke arahnya. Dia melihat sebentar ke arah atap restoran. Dari situlah air mengucur pelan, menjalar di teritis, membasahi ujung selasar. Hujan itu hujan buatan. Menetes terus hingga restoran itu tutup.

"Sudah mesan tempat, Mas?" Orang yang melambai tadi adalah lelaki berpakaian hitam-hitam. Seorang pelayan yang langsung mengembangkan payung. "Dengan mas siapa?" Pelayan itu mengiringi lelaki itu.

"Heru!"

"Heru Prasetyo ya, Mas?" Pelayan itu membuatnya risih. Dia mengangguk pelan, memperjelas bahwa namanya adalah Heru Prasetyo. "Silahkan duduk di meja nomor empat. Mbak Palupi sebentar lagi tiba."

Heru duduk malas-malasan. Ditatapnya tetes hujan di seberang jendela. Betapa restoran itu mendapat berkah. Di luar sana kabut asap dan kemarau bertikai. Di dalam restoran terasa sejuk tanpa ac, kecuali kipas angin yang berputar pelan di langit-langit.

Heru menjentik bekas tetes hujan di kelopak mawar. Jam tangannya menunjukkan pukul sepuluh pagi. Waktu yang nyaman baginya melepaskan lelah, tidur hingga pukul dua belas siang. Tadi malam dia kebetulan dapat tugas shift malam di perusahaan penerbitan itu. 

Hmm, ke mana ya, Palupi? Heru merasa canggung dilirik beberapa pengunjung restoran, sebab sudah duduk beberapa menit, tapi tak memesan apapun meski hanya segelas air mineral.

Saat canggung itulah matanya melihat seorang perempuan berkulit putih mulus, bermata agak sipit. Wajah oriental yang selalu membuat Heru terharu-biru. Dia teringat teman esde-nya.  Cantik seperti perempuan itu. 

Hingga dia jatuh cinta, meski cinta monyet dan cinta kilat. Teman esde-nya itu hengkang ke negara tetangga, belum genap satu tahun cintanya bertunas. Gila! Esde sudah cinta-cintaan? Heru mengeleng-geleng.

Perempuan itu tersenyum. Heru seolah ditarik magnet amat kuat, melupakan wajah Palupi yang mengurung isi kepalanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun