Dia meninggalkan seikat mawar di atas meja, dan perlahan melangkah mendekati perempuan itu.
"Sepertinya saya kenal anda. Tapi saya takut salah karena sudah lama kita tak bertemu." Tanpa sungkan Heru menarik kursi di seberang perempuan itu.
"Namamu masih Heru, kan? Heru Prasetyo?" Manik mata itu tajam menusuk jantung Heru. Degupannya terasa memburu.Â
"Kau, kau Nica...."
"Veronica tepatnya!" Bibir itu bergetar. Manik mata itu berbinar. "Aku ingat namamu karena masih menyimpan sapu tangan pemberianmu."
Meski senang tak terkira, kebingungan menerabas benak Heru. Bagaimana mungkin dia dan Veronica bertemu lagi setelah puluhan tahun berpisah. Lagi pula, dulu sebelum mereka berpisah, Veronica mengatakan bahwa itu mungkin perpisahan mereka untuk selamanya.Â
Heru tahu gadis kecilnya itu mengidap penyakit parah. Sekali dua gadis itu terbatuk parah. Suatu kali sampai mengeluarkan darah segar. Di belakang kantin sekolah, tubuh gadis itu bergetar.Â
Heru mengangsurkan sapu tangan bertuliskan namanya. Gadis itu menyambut, dan menghapus darah segar yang mengotori bibir dan dagunya. Dua hari kemudian, gadis itu pun dibawa pergi oleh ayahnya ke negara tetangga.
"Ayahku pindah tugas. Aku juga akan berobat di sana. Ini perpisahan terakhir kita. Selamanya. Mungkin kita tak akan bertemu lagi." Dia menghambur mengejar ayahnya. Kisah cinta Heru berserakan di lantai selasar sekolah. Hasilnya, bapak guru  menyuruhnya berdiri di dekat papan tulis, karena Heru telah membolos jam pelajaran matematika.
"Masih mengingat masa lalu?" Veronica menggenggam jemari Heru. Petir menggelegar. Hujan menderas. Pelayan tersenyum seolah memberitahukan bahwa semua itu hanya buatan.Â
"Iya, aku mengingatnya hingga sekarang."