Memang sesekali bila aku ingin pipis, buru-buru si Jambang menadahkan pispot bercorong. Bila ingin buang air besar, lengannya yang kokoh menggendongku ke kakus di belakang rumah. Tapi bila dia tak ada di rumah atau malasnya kumat, mana mungkin aku meminta bantuan istrinya. Terpaksalah kurasai bersantap sarapan, siang atau malam, antara membaui sedap lauk beradu sedap bau busuk.
Tak terhitung kata sundal dilemparkan ke telingaku. Si Jambang mengatakan semua penyakit yang menimpaku adalah buah dosa masa muda. Dia sudah bosan mengurusi lelaki yang penyakitan. Uangnya berhambur ke mana-mana demi penyembuhan aku. Dari orang pintar sampai orang medis kami temui. Dari saran yang masuk akal hingga saran sinting aku jalani. Hasilnya nol besar. Dan aku bertambah semaput.
Kata-kata si Judes lebih parah. Mungkin dalam hatinya terbetik niat membeli racun tikus di warung sebelah. Meramunya dalam makananku. Setelah itu aku kelojotan, mati. Kata-katanya tak lain ingin mengirimku ke rumah si anu, si itu. Mempunyai ayah bukan tanggung jawab seorang anak. Tapi tanggung jawab bersama. Dia menyarankan agar aku dikirim ke rumah si anu di Jawa. Ke rumah si ini Bangka. Tapi dehemen suaminya mengakhiri segalanya. Untuk mengirim tubuh tuaku, butuh biaya yang banyak.
Ketika perutku kembung dan selera makan hanya sebatas mulut, lalu kumuntahkan, timbul syakwasangka mereka. Aku telah kesambet begu-begu. Perempuan judes itu seringkali membawa beberapa butir lada hitam. Memencet lada hitam itu di ujung jempol kakiku. Jelas aku menjerit-jerit. Jelas pula dia paham bahwa aku memang kesambet. Sayangnya dia tak tahu, jeritanku adalah jeritan sakit karena asam urat. Sialan! Tak sadar serapahku menyambar perempuan itu, hingga dia bertambah percaya segala takhayul.
Takhayul? Tiba-tiba saja aku terkejut memikirkan kata itu. Entah dapat kekuatan darimana, aku bisa bangkit dari kasur. Terseok meninggalkan rumah sambil mendorong sepeda. Tujuanku tak lain ke rumah Pak Safran. Dia tak lagi memacul di halaman sempit itu. Dia leyeh-leyeh. Menampar mukaku ketika aku duduk di sebelahnya.Â
"Jangan terlalu lama berkhayal!"
Aku gugup. Tubuhku kembali seperti sediakala. Tetap muda gagah, kendati jauh dari kata tampan. "Terawangnya sudah selesai, Pak Safran?" Aku masih bingung.
"Siapa yang diterawang? Kau tiduran terus dari pagi sampai senja seperti kesurupan. Sana, pulang! Perbaiki otak dan sikapmu!" Dia masih tersenyum. Bantingan pintu menyadarkanku bahwa dia sedang marah. Segera kukayuh sepeda dengan pikiran suntuk. Namun selintas kuingat Bapak-maksudku orangtuaku. Lelaki itu suka membandel kalau disuruh makan. Rewel sekali. Sesekali pula aku membentaknya. Kuingat pula kejadian barusan---entah nyata atau tidak---aku menjadi uzur dan diperlakukan kasar oleh anak-mantu.Â
Ach, itu dia! Aku yakin hidup tak karuan ini karena perlakuanku terhadap Bapak. Sepeda kubelokkan ke pasar. Sudah lama Bapak tak menikmati sate kambing Mang Rukub.Â
"Untuk siapa?" Mang Rukub mengangsurkan sebungkus sate kambing. "Bapak, ya?"
"Iya!"