Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terawang Tahun Baru

28 Maret 2019   13:22 Diperbarui: 28 Maret 2019   13:33 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Sampai dia menghabiskan secangkir kopi. Sampai dia leyeh-leyeh di atas bale, kemudian pindah ke sofa dalam rumah, aku tetap mengekor. Kukatakan bahwa aku datang bukan gratisan. Dari semua terawangannya akan kubayar. Aku tahu jaman sekarang tak ada yang gratis. Meninggal saja harus bayar ini-itu.

Akhirnya dia duduk. Dia menggeser sebuah kursi ke hadapannya. "Duduklah di sini," ucapnya lembut sambil menunjuk ke arah kursi itu.

Aku ragu-ragu melangkah dan duduk di hadapannya. Dalam pikiranku selama ini, ritual terawang seringkali dalam ruangan hening dan bau dupa menyengat hidung. Tapi ritual Pak Safran aneh. Lebih aneh lagi, dia membuatku risih. Dia menggenggam kedua tanganku. Meletakkan tanganku di atas pahanya. Sementara matanya nyalang. Mungkin dia ini ada kelainan, senang sesama lelaki. Ah, aku rupanya telah salah jalan. Tapi harus ditunggu dulu reaksi selanjutnya. Bila dia berbuat macam-macam, kutendang saja tubuh tuanya menyasar dinding. 

Perlahan-lahan ada arus hangat memasuki dua belah tanganku. Menjalar ke dada dan seluruh isi dada. Menjalar ke perut dan seluruh isi perut. Lalu seluruh tubuhku terasa hangat. 

Lama sekali dia melakukan ritual demikian, hingga tubuhku kembali ke suhu normal. Dari suhu normal berubah dingin. Dia pun melepas tanganku. Dia menyuruhku pergi.

Aku terhuyung-huyung keluar dari rumahnya. Tubuhku terasa remuk redam. Sepeda tak lagi dapat dikayuh, tapi kudorong saja pelan-pelan menuju rumahku. Dan aku terkejut bukan kepalang. Ada lelaki berjambang di halaman rumahku. Seorang perempuan berwajah judes yang sedang memberi makan anak kecil, duduk di sebelahnya. Menatapku tajam.

Lelaki berjambang itu berdiri. Menyongsongku seolah ingin memangsa. "Darimana saja, Ayah? Kenapa pergi tanpa permisi? Diamlah di rumah! Kalau Ayah kenapa-kenapa di luar sana, bagaimana? Kami juga yang susah!"

"Iya, Ayah ini membuat susah saja. Sudah menumpang di rumah kita, membuat pusing kepala juga." Perempuan berwajah judes itu melukai hatiku.

"Husss!" Lelaki berjambang itu membentak. 

Aku kemudian masuk ke dalam rumah, yang entah rumahku atau rumah si jambang dan istrinya. Tubuhku benar-benar layu. Saat melintasi cermin, barulah aku tahu bahwa usiaku telah sangat lanjut. Sebuah foto di dinding rumah, meyakinkanku kalau aku adalah ayah dari kedua orang dewasa di halaman itu, dan anak kecil itu cucuku. Tapi di antara yang berjambang dan berwajah judes, kurang paham aku mana anak dan mana menantuku. Kelak aku akan tahu kalau lelaki berjambang itulah anakku. Kelak pula aku tahu, rumahku telah lama digusur. Di usia senja, aku harus mondok di rumah anak-mantu.

Belum lagi puas dihajar kata-kata sindiran, penyakit memberangus badanku. Gejala gula darah, asam urat, urat syarat terjepit, darah tinggi, membuat tubuhku berubah menjadi gedebong pisang. Aku hanya diam di kamar belakang, di atas kasur tipis yang menyatu dengan lantai. Bau menyengat antara hasil pembuangan dari lubang pantat dan sela selangkangan, membuat kamar pengap bukan buatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun