Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terawang Tahun Baru

28 Maret 2019   13:22 Diperbarui: 28 Maret 2019   13:33 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang sesekali bila aku ingin pipis, buru-buru si Jambang menadahkan pispot bercorong. Bila ingin buang air besar, lengannya yang kokoh menggendongku ke kakus di belakang rumah. Tapi bila dia tak ada di rumah atau malasnya kumat, mana mungkin aku meminta bantuan istrinya. Terpaksalah kurasai bersantap sarapan, siang atau malam, antara membaui sedap lauk beradu sedap bau busuk.

Tak terhitung kata sundal dilemparkan ke telingaku. Si Jambang mengatakan semua penyakit yang menimpaku adalah buah dosa masa muda. Dia sudah bosan mengurusi lelaki yang penyakitan. Uangnya berhambur ke mana-mana demi penyembuhan aku. Dari orang pintar sampai orang medis kami temui. Dari saran yang masuk akal hingga saran sinting aku jalani. Hasilnya nol besar. Dan aku bertambah semaput.

Kata-kata si Judes lebih parah. Mungkin dalam hatinya terbetik niat membeli racun tikus di warung sebelah. Meramunya dalam makananku. Setelah itu aku kelojotan, mati. Kata-katanya tak lain ingin mengirimku ke rumah si anu, si itu. Mempunyai ayah bukan tanggung jawab seorang anak. Tapi tanggung jawab bersama. Dia menyarankan agar aku dikirim ke rumah si anu di Jawa. Ke rumah si ini Bangka. Tapi dehemen suaminya mengakhiri segalanya. Untuk mengirim tubuh tuaku, butuh biaya yang banyak.

Ketika perutku kembung dan selera makan hanya sebatas mulut, lalu kumuntahkan, timbul syakwasangka mereka. Aku telah kesambet begu-begu. Perempuan judes itu seringkali membawa beberapa butir lada hitam. Memencet lada hitam itu di ujung jempol kakiku. Jelas aku menjerit-jerit. Jelas pula dia paham bahwa aku memang kesambet. Sayangnya dia tak tahu, jeritanku adalah jeritan sakit karena asam urat. Sialan! Tak sadar serapahku menyambar perempuan itu, hingga dia bertambah percaya segala takhayul.

Takhayul? Tiba-tiba saja aku terkejut memikirkan kata itu. Entah dapat kekuatan darimana, aku bisa bangkit dari kasur. Terseok meninggalkan rumah sambil mendorong sepeda. Tujuanku tak lain ke rumah Pak Safran. Dia tak lagi memacul di halaman sempit itu. Dia leyeh-leyeh. Menampar mukaku ketika aku duduk di sebelahnya. 

"Jangan terlalu lama berkhayal!"

Aku gugup. Tubuhku kembali seperti sediakala. Tetap muda gagah, kendati jauh dari kata tampan. "Terawangnya sudah selesai, Pak Safran?" Aku masih bingung.

"Siapa yang diterawang? Kau tiduran terus dari pagi sampai senja seperti kesurupan. Sana, pulang! Perbaiki otak dan sikapmu!" Dia masih tersenyum. Bantingan pintu menyadarkanku bahwa dia sedang marah. Segera kukayuh sepeda dengan pikiran suntuk. Namun selintas kuingat Bapak-maksudku orangtuaku. Lelaki itu suka membandel kalau disuruh makan. Rewel sekali. Sesekali pula aku membentaknya. Kuingat pula kejadian barusan---entah nyata atau tidak---aku menjadi uzur dan diperlakukan kasar oleh anak-mantu. 

Ach, itu dia! Aku yakin hidup tak karuan ini karena perlakuanku terhadap Bapak. Sepeda kubelokkan ke pasar. Sudah lama Bapak tak menikmati sate kambing Mang Rukub. 

"Untuk siapa?" Mang Rukub mengangsurkan sebungkus sate kambing. "Bapak, ya?"

"Iya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun