Entah apa jadinya bila aku berkonsultasi dengan lelaki itu di penghujung tahun  ini. Kabar yang tersiar, dia memiliki indra keenam. Hebatnya lagi---kendati masih meragukan---dia bisa menembus batas waktu. Dia bisa pulang ke beberapa tahun atau berpuluh tahun ke belakang. Dia juga bisa pergi ke beberapa tahun atau berpuluh tahun ke depan. Memang bukan jasadnya yang pulang-pergi. Ruhnya saja. Cuma, yang terjadi pada jasadnya, akan jauh lebih muda ketika sedang melakukan ritual pulang. Menjadi uzur ketika melakukan ritual pergi.
Irul sudah melarangku menemuinya. Menemui lelaki itu, sama saja melawan Tuhan. Masa lalu taklah mungkin diulang. Masa depan tak pula perlu untuk diketahui. Tugas manusia hanyalah menjalani hari-harinya sebaik mungkin. "Mendatanginya, sama saja kau musyrik!" Â ketus Irul sambil menggebrak meja.
Aku terkejut. Sangat kesal. Istriku saja tak perduli terhadap niatku menemui lelaki itu. Apa hak Irul hingga berani melarang segala? Kami sebatas teman. Bedanya di masjid, dia guru mengajiku.
Akhirnya kutinggalkan dia tanpa mengucapkan salam. Sepeda onthel kukayuh perlahan. Hidup yang selalu seret dari tahun ke tahun, pertengkaran yang selalu timbul antara aku dan istriku, akhirnya membuat buntu pikiran. Seperti ada yang salah denganku, atau dengan istriku. Mungkin setelah lelaki itu memberikan terawang tentang masa depanku di tahun 2019, aku akan lebih nyaman menapak. Kendati mendului kehendak Tuhan, aku pikir tak ada salahnya untuk coba-coba.
Lelaki itu kebetulan sedang memacul di halaman rumahnya yang sempit. Dia senang bertanam. Di halaman sempit itu ada beragam sayur-mayur. Sebatang pohon jambu air berdaun lebat, yang selalu berbuah kapan pun. Kubunyikan lonceng sepeda sekali. Dia bergeming. Kubunyikan dua kali. Ayunan cangkulnya semakin kencang. Aku baru ingat, dia bukan burung yang akan bernyanyi bila aku memetikkan dua jari tangan. Segera kuucapkan salam dengan lembut, seolah ingin mengucapkan maaf. Dan cangkul itu berhenti bergerak. Dia menggerakkan badan. Menggerakkan pinggang ke kiri-ke kanan, ke depan-ke belakang. Lalu tersenyum sambil menyambut salamku.
"Ada apa pagi-pagi ke mari? Tak kerja rupanya?" Dia membuka pintu pagar. Kami kemudian duduk di bale-bale depan rumah. Entah dia tahu akan mendapat tamu pagi ini, telah terhidang dua cangkir kopi dan sepiring pisang rebus di atas meja.Â
"Beberapa hari lagi tahun 2019, Pak Safran. Jadi..."
"Siapa bilang tahun 2024 rupanya?" Dia terkekeh. Tipe orang yang senang bercanda. Tapi dia bungkam setelah aku mengatakan ingin diterawang. Matanya melotot. Mulutnya mencibir. Dia marah dianggap sebagai paranormal, orang pintar, dukun, suhu atau apalah.Â
Aku tak sakit hati, lalu minggat. Segala keinginan belum tentu mulus terwujud. Kerap kali ada aral melintang. Terkadang mudah dilewati, terkadang sudah sulit dilampaui, Â menimbulkan sakitnya tuh di sini.
"Tolonglah saya, Pak Safran. Tentang kedigjayaan Bapak telah diketahui seantero kampung. Kenapa Bapak tak merelakan sedikit ilmu itu untuk dibagi kepada saya? Misalnya agar saya tahu bagaimana nasib saya di tahun depan. Apa masih berjenggot atau masih bertanduk. Apa sudah pandai bermake-up." Aku mencairkan suasana. Wajah Pak Safran sedikit cerah.
Bukannya memulai ritual penerawangan, dia malahan menasehatiku. Sebagai orang terpelajar dan tahu agama, tak selayaknya aku ikut-ikutan terawangan seperti orang-orang. Percaya pada ramalan bintang. Percaya pada shio-shio dan keberuntungan. "Kau bisa musyrik!" Ucapannya sama persis dengan ucapan Irul. Kutahan rasa kesal yang membuncah. Kesal kepada Pak Safran sama saja akan menutup kesempatanku merubah nasib.
Sampai dia menghabiskan secangkir kopi. Sampai dia leyeh-leyeh di atas bale, kemudian pindah ke sofa dalam rumah, aku tetap mengekor. Kukatakan bahwa aku datang bukan gratisan. Dari semua terawangannya akan kubayar. Aku tahu jaman sekarang tak ada yang gratis. Meninggal saja harus bayar ini-itu.
Akhirnya dia duduk. Dia menggeser sebuah kursi ke hadapannya. "Duduklah di sini," ucapnya lembut sambil menunjuk ke arah kursi itu.
Aku ragu-ragu melangkah dan duduk di hadapannya. Dalam pikiranku selama ini, ritual terawang seringkali dalam ruangan hening dan bau dupa menyengat hidung. Tapi ritual Pak Safran aneh. Lebih aneh lagi, dia membuatku risih. Dia menggenggam kedua tanganku. Meletakkan tanganku di atas pahanya. Sementara matanya nyalang. Mungkin dia ini ada kelainan, senang sesama lelaki. Ah, aku rupanya telah salah jalan. Tapi harus ditunggu dulu reaksi selanjutnya. Bila dia berbuat macam-macam, kutendang saja tubuh tuanya menyasar dinding.Â
Perlahan-lahan ada arus hangat memasuki dua belah tanganku. Menjalar ke dada dan seluruh isi dada. Menjalar ke perut dan seluruh isi perut. Lalu seluruh tubuhku terasa hangat.Â
Lama sekali dia melakukan ritual demikian, hingga tubuhku kembali ke suhu normal. Dari suhu normal berubah dingin. Dia pun melepas tanganku. Dia menyuruhku pergi.
Aku terhuyung-huyung keluar dari rumahnya. Tubuhku terasa remuk redam. Sepeda tak lagi dapat dikayuh, tapi kudorong saja pelan-pelan menuju rumahku. Dan aku terkejut bukan kepalang. Ada lelaki berjambang di halaman rumahku. Seorang perempuan berwajah judes yang sedang memberi makan anak kecil, duduk di sebelahnya. Menatapku tajam.
Lelaki berjambang itu berdiri. Menyongsongku seolah ingin memangsa. "Darimana saja, Ayah? Kenapa pergi tanpa permisi? Diamlah di rumah! Kalau Ayah kenapa-kenapa di luar sana, bagaimana? Kami juga yang susah!"
"Iya, Ayah ini membuat susah saja. Sudah menumpang di rumah kita, membuat pusing kepala juga." Perempuan berwajah judes itu melukai hatiku.
"Husss!" Lelaki berjambang itu membentak.Â
Aku kemudian masuk ke dalam rumah, yang entah rumahku atau rumah si jambang dan istrinya. Tubuhku benar-benar layu. Saat melintasi cermin, barulah aku tahu bahwa usiaku telah sangat lanjut. Sebuah foto di dinding rumah, meyakinkanku kalau aku adalah ayah dari kedua orang dewasa di halaman itu, dan anak kecil itu cucuku. Tapi di antara yang berjambang dan berwajah judes, kurang paham aku mana anak dan mana menantuku. Kelak aku akan tahu kalau lelaki berjambang itulah anakku. Kelak pula aku tahu, rumahku telah lama digusur. Di usia senja, aku harus mondok di rumah anak-mantu.
Belum lagi puas dihajar kata-kata sindiran, penyakit memberangus badanku. Gejala gula darah, asam urat, urat syarat terjepit, darah tinggi, membuat tubuhku berubah menjadi gedebong pisang. Aku hanya diam di kamar belakang, di atas kasur tipis yang menyatu dengan lantai. Bau menyengat antara hasil pembuangan dari lubang pantat dan sela selangkangan, membuat kamar pengap bukan buatan.
Memang sesekali bila aku ingin pipis, buru-buru si Jambang menadahkan pispot bercorong. Bila ingin buang air besar, lengannya yang kokoh menggendongku ke kakus di belakang rumah. Tapi bila dia tak ada di rumah atau malasnya kumat, mana mungkin aku meminta bantuan istrinya. Terpaksalah kurasai bersantap sarapan, siang atau malam, antara membaui sedap lauk beradu sedap bau busuk.
Tak terhitung kata sundal dilemparkan ke telingaku. Si Jambang mengatakan semua penyakit yang menimpaku adalah buah dosa masa muda. Dia sudah bosan mengurusi lelaki yang penyakitan. Uangnya berhambur ke mana-mana demi penyembuhan aku. Dari orang pintar sampai orang medis kami temui. Dari saran yang masuk akal hingga saran sinting aku jalani. Hasilnya nol besar. Dan aku bertambah semaput.
Kata-kata si Judes lebih parah. Mungkin dalam hatinya terbetik niat membeli racun tikus di warung sebelah. Meramunya dalam makananku. Setelah itu aku kelojotan, mati. Kata-katanya tak lain ingin mengirimku ke rumah si anu, si itu. Mempunyai ayah bukan tanggung jawab seorang anak. Tapi tanggung jawab bersama. Dia menyarankan agar aku dikirim ke rumah si anu di Jawa. Ke rumah si ini Bangka. Tapi dehemen suaminya mengakhiri segalanya. Untuk mengirim tubuh tuaku, butuh biaya yang banyak.
Ketika perutku kembung dan selera makan hanya sebatas mulut, lalu kumuntahkan, timbul syakwasangka mereka. Aku telah kesambet begu-begu. Perempuan judes itu seringkali membawa beberapa butir lada hitam. Memencet lada hitam itu di ujung jempol kakiku. Jelas aku menjerit-jerit. Jelas pula dia paham bahwa aku memang kesambet. Sayangnya dia tak tahu, jeritanku adalah jeritan sakit karena asam urat. Sialan! Tak sadar serapahku menyambar perempuan itu, hingga dia bertambah percaya segala takhayul.
Takhayul? Tiba-tiba saja aku terkejut memikirkan kata itu. Entah dapat kekuatan darimana, aku bisa bangkit dari kasur. Terseok meninggalkan rumah sambil mendorong sepeda. Tujuanku tak lain ke rumah Pak Safran. Dia tak lagi memacul di halaman sempit itu. Dia leyeh-leyeh. Menampar mukaku ketika aku duduk di sebelahnya.Â
"Jangan terlalu lama berkhayal!"
Aku gugup. Tubuhku kembali seperti sediakala. Tetap muda gagah, kendati jauh dari kata tampan. "Terawangnya sudah selesai, Pak Safran?" Aku masih bingung.
"Siapa yang diterawang? Kau tiduran terus dari pagi sampai senja seperti kesurupan. Sana, pulang! Perbaiki otak dan sikapmu!" Dia masih tersenyum. Bantingan pintu menyadarkanku bahwa dia sedang marah. Segera kukayuh sepeda dengan pikiran suntuk. Namun selintas kuingat Bapak-maksudku orangtuaku. Lelaki itu suka membandel kalau disuruh makan. Rewel sekali. Sesekali pula aku membentaknya. Kuingat pula kejadian barusan---entah nyata atau tidak---aku menjadi uzur dan diperlakukan kasar oleh anak-mantu.Â
Ach, itu dia! Aku yakin hidup tak karuan ini karena perlakuanku terhadap Bapak. Sepeda kubelokkan ke pasar. Sudah lama Bapak tak menikmati sate kambing Mang Rukub.Â
"Untuk siapa?" Mang Rukub mengangsurkan sebungkus sate kambing. "Bapak, ya?"
"Iya!"
"Nggak usah bayar, Denan. Ini gratis! Penglaris menyambut tahun baru." Mang Rukub tertawa. Biasanya manyun, dan pembeli pantang berhutang. Hmm, mungkin ini rejeki pertamaku.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H