"Tumben kehidupanmu menjadi susah begini. Dulu kau selalu kelihatan mewah."
"Perusahaan tempatku bekerja ambruk. Jadi, mau bilang apalagi. Mencari pekerjaan sulit. Lowongan pekerjaan yang ada selalu membatasi umur pelamar."
"Pengalamanmu kan sudah bejibun!"
"Ya, tapi inilah kenyataan yang kuterima. Pasrah saja!"
Supio memarkirkan mobil di sebuah restoran. Dia mengajakku sarapan, yang boleh dibilang bukan sarapan. Apa yang dia pesan makanan berat-berat semua. Nasi, bebek goreng, ikan asam manis, kangkung tumis dan sate lidah. Kebetulan aku baru sarapan pisang goreng di rumah, dan melihat apa yang terhidang di meja, bagiku adalah rejeki durian runtuh.
"Kau sukses sekarang, ya? Kerja di mana?" tanyaku saat mobil kembali berjalan di antara kendaraan yang saling merapat.
"Adalah! Aku memiliki perusahaan yang memiliki cabang di beberapa kota. Aku berencana mau buka salah satu cabang di sini. Nah, kebetulan bertemu kau. Mungkin kalau berminat, jadilah kepala cabang saja di kota ini."
"Maksudmu aku?"
Supio tertawa. "Ya, siapa lagi?"
* * *
Aku pulang ke rumah dengan wajah sumringah. Meskipun berulangkali menolak, akhirnya segumpal uang Supio berpindah juga ke tanganku. Supio tak enak hati telah memakan waktu kerjaku hari ini. Itu artinya penghasilanku berkurang. Dengan uang pemberiannya, jadilah mengasapi dapur.Â