Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teman Lama

22 Maret 2019   14:51 Diperbarui: 22 Maret 2019   15:01 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ini sudah lebih dari cukup. Sangat berlebihan malah!" kataku sebelum kami berpisah.

"Tak apa-apa. Anggap saja sekalian persekot untukmu. Ya, kau akan menjadi kepala cabang di kota ini. Kau mau menjadi karyawanku, kan?" Dia menggenggam erat tanganku.

Aku hanya tersenyum kala itu. Meskipun telah membuka jalan baru bagiku, tapi  aku masih ragu melihat tingkah-laku Supio. Dia sepertinya bukan Supio yang dulu. Kurang beriman. Atau, apakah aku hanya bersuuzon saja?

Tadi siang, saat tiba shalat jum'at dan aku meminta dia memarkirkan mobil, Supio malahan tak ikut turun. Katanya dia ada urusan sebentar. Nanti dia menjemputku, selesai aku shalat jum'at.

"Kau tak shalat jum'at?"

Supio hanya tertawa.

Sedang membayangkan Supio, istriku muncul di ambang pintu. Dia mengambil-alih tas yang masih seberat ketika aku bawa tadi pagi. Sepatuku dia masukkan ke dalam rak. Lalu dia ke dapur sebentar. Muncul lagi di hadapanku dengan segelas teh manis, juga sepiring kecil tempe goreng.

"Kau kenal Supio?" Aku memulai perbincangan. Aku selalu menceritakan kepada istriku apa-apa saja kejadian yang kualami di luaran sana. Termasuk bila bertemu teman perempuan maupun lelaki.

"O, kawan Mas yang dulu itu? Supio yang senang berkelakar dan paling setia dengan motor bututnya?"

"Iya! Sekarang motor bututnya tak ada lagi. Yang ada mobil sedan putih mulus. Yang ada Supio berpenampilan keren dan kaya."

Mata istriku membola. Mendengar kata keren dan kaya, mungkin dia terkenang masa-masa jaya kami dulu. Istriku memang mencoba membantu mewujudkan kejayaan itu kembali dengan membuat kue-kue yang dititipkan ke beberapa toko makanan. Tapi hampir tiga bulan berjalan, bukannya laku, kue-kue itu malahan lebih sering dihabiskan di rumah. Atau kalau tak sanggup menghabiskan, dibagi-bagi ke tetangga atau kerabat kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun