"Kiplik!"
Aku tersentak. Kepalaku seperti berkelontangan. Cahaya hangat menyambar wajah, dan memaksaku perlahan membuka mata. Tak ada sesiapa, selain bau amis dan debur ombak. Di langit, lautan burung mempermainkan cahaya matahari.Â
Hai, burung Siberia! Aku terperangah. Gembira. Ini bulan Oktober-kah? Aku melompat kegirangan. Segera kudekati gelisah ombak yang menjangkau pantai. Kuhamburkan air laut ke arah burung-burung. Betapa surga dunia bisa kulihat! Beragam rupa burung. Beragam warna seolah mengimbangi pelangi.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Burung-burung menghambur dan hilang. Bau amis masih terasa. Debur ombak menghilang, berganti desah air sungai yang berjalan lamban.
Aku kembali ke dunia nyata. Terbaring di pinggiran sungai Musi dengan sekaleng lem tanpa isi. Rul, orang yang menepuk pundakku, meringis.
"Sudah pagi!" katanya.
"Iya!" jawabku malas-malasan.
"Ngamen lagi, yok!" Dia berdiri sempoyongan.
"Sebentar lagi. Tubuhku masih terasa luluh-lantak." Kepalaku kembali berkelontangan. Mataku penuh kunang-kunang. Segala berputar. Kupilih memejamkan mata sambil membiarkan Rul pergi dengan dengusan kesal.
* * *
Namaku Kiplik. Umurku hampir dua puluh tujuh tahun. Aku lahir dan besar di Sungsang. Ya, supaya kau tahu, hidupku selalu akrab dengan amis pantai dan ikan. Aku juga berkerabat dekat dengan burung-burung Siberia yang selalu merubung hebat setiap bulan Oktober.
"Aku ingin seperti Mahmud!" kataku kepada Mak, sembilan bulan lalu. Aku bosan menjadi nelayan, meskipun sesekali menjadi buruh panggul di pelabuhan. Aku ingin seperti Mahmud yang mentereng. Sebenarnya tak kutahu apa pekerjaannya. Yang aku tahu, setiap mudik dari Palembang, selalu ada barang baru yang dia bawa memenuhi rumah orangtuanya. Televisi, arloji, barang-barang keramik, sepeda motor. Coba, siapa yang tahan tetap menjadi si malang amis, yang hidupnya selalu senin-kamis?
"Kita sudah ditakdirkan menjadi nelayan, Kiplik! Seperti bapakmu. Seperti Mak yang selalu disibukkan mengurusi ikan-ikan untuk dijemur dan dibuat ikan asin."
"Seperti Bapak yang pasrah pada takdir dan mati di laut?" Tatapku mencorong dari celah-celah lantai papan yang tersusun jarang. Ada beberapa ekor ikan kecil berebut makanan di bawah situ.
"Husss! Tak baik berkata begitu. Hidup dan mati orang bisa di mana saja. Retak tanganmu adalah nelayan. Bertahanlah di sini, Kiplik. Siapa tahu kelak kau bisa menjadi tengkulak seperti tauke Sang San."
"Apa orang berkulit coklat seperti aku bisa menjadi tauke?"
"Siapa saja bisa, Kiplik!" Mak menyelesaikan pekerjaannya menisik baju yang sobek. Sebentar dia mengeluh sambil menatap ke luar jendela. Panas menyengat di luar sana. Sama seperti menyengatnya niat yang menyemayami dada ini.
"Pokoknya aku harus merantau ke Palembang. Aku mau mencari kerja di sana. Aku ingin seperti Mahmud!Lagi pula, baru tiga kali tanah kota itu kuinjak!"
Mak tak bisa mencegah langkahku yang panjang. Apalagi Mahmud memang merestui niat muliaku. Berbekal menewaskan celengan ayam kesayangan Mak, aku berdua Mahmud berlayar ke Palembang. Kepalaku terasa lebih besar dari biasanya.
"Hidup di kota besar, keras, Kiplik. Kita juga harus keras dan tak boleh lembek." Itu ucapan Mahmud ketika kami sampai di rumah kontrakannya yang sempit dan bau. Dalam khayalku selama ini, paling tak, rumahnya menyamai rumah tauke Sang San. Tapi nyatanya aku salah besar. Kasurku di Sungsang saja lebih tebal dari kasur Mahmud.
"Iya, Kak!" jawabku lesu. Ada sedikit kecewa menjalar di dada ini. Tapi berpantang bagiku berpaling ke Sungsang. Sekali mengayuh perahu, hanya malu besar bila aku kalah dan pulang menemui Mak. Apa kata dunia?
Perasaan kacau semakin membelitku manakala Mahmud mengajakku beroperasi. Dalam benakku, kami akan menuju kantor besar, atau setidak-tidak sebuah toko. Nyatanya kami tumpah di pasar. Mahmud hanya tegak-tegak saja dengan mata jelalatan. Hatiku cemas. Lebih cemas lagi ketika teriakan "copet" mengguncang pasar. Sempat kulihat Mahmud lari terbirit ke dalam sebuah gang.
Begitu kami bertemu di rumah kontrakan, Mahmud memberiku uang beberapa lembar.
"Inilah hidup, Kiplik. Kalau mau kaya dengan cara mudah."
Aku mengusap wajah menahan gundah. "Berarti Kak Mahmud?"
"Ya, aku seorang pencopet. Aku juga penodong. Perampok. Apa saja. Yang penting bisa dijadikan uang." Dia tertawa. "Besok kuajari kau menjadi kaya mendadak." Mahmud rebah di kasur. Dengkurnya menggergaji liang telingaku.
Aku memilih minggat. Dalam silsilah keluargaku, tak ada seorang pun yang bekerja untuk menyelekakan orang. Meresahkan masyarakat. Betapapun miskinnya kami, tetaplah mencari pengidupan dengan cara halal. Uang pemberian Mahmud kuberikan kepada pengemis. Dan seperti juragan, aku melenggang di pusat kota. Aku masih memiliki simpanan uang Mak.
Tapi berapakah kekuatan uang orang dusun di tengah ganasnya kota besar? Segala-galanya bayar. Kencing pun bayar. Tak sampai hitungan pekan, kantongku benar-benar kosong.Â
Apakah aku harus kembali menemui Mahmud? O, tak mungkin! Aku kemudian memilih menjadi pengemis ketimbang menjadi pencopet.Â
Berbekal kenalan dengan Rul, ternyata kelas yang kudapat setingkat di atas pengemis. Aku menjadi pengamen. Keluar-masuk rumah makan. Keluar-masuk bis kota. Kucing-kucingan dengan aparat. Bahkan pekerjaan yang kuhindari, terpaksa dilakukan demi membela teman. Tak jarang karena membela Rul, aku harus ikut bertarung. Harus ikut terluka dan wajah lebam-lebam. Dari Rul pula aku mulai belajar merasakan getar alkohol. Bahkan merasakan bagaimana gejolak "ngelem" seperti yang sudah kulakukan beberapa pekan ini.
"Kiplik!"
Aku tersentak. Kepalaku berkelontangan. Cahaya hangat menyambar wajah, dan memaksaku perlahan membuka mata. Ada sesiapa di hadapanku. Mak! Dia menatapku seperti menghukum.
"Ini kerjamu di Palembang, Kiplik? Mana anak sholeh yang dulu Mak kenal? Apakah kau masih ingat Allah? Kiplik, bila Mak tiada, hanya doamu yang Mak harapkan agar terbebas dari siksa Allah."
Byarrr!
Seseorang menyiram wajahku. Seorang perempuan. Bukan Mak. Tapi dia perempuan gemuk dengan parang dan ember di tangan. Teriaknya, "Suh, pergi! Sudah siang masih molor! Aku mau jualan, tahu dak? Ikan-ikan ini busuk kalau dak laku hari ini. Suh, pergi!" Seperti seekor anjing, aku diusir.
Terhuyung aku meninggalkan perempuan itu. Sementara ingatanku tentang Mak, mencambuk-cambuk isi kepala. Ya, Allah, apa yang kudapat di kota besar ini selain mudarat? Dulu aku rajin shalat, sekarang tak pernah lagi. Dulu aku tak merokok, sekarang jangankan merokok, minum alkohol dan "ngelem" pun menjadi rutinitas.
Tatapku terbentur sebuah menara masjid tiga lemparan batu dariku. Tak ada salahnya meminta maaf kepada Allah. Dan ini memang harus. Kalau pun aku mesti pulang kembali ke Sungsang, biarlah tetap melarat begini. Tapi melarat hendaknya hanya melarat badan, bukan melarat jiwa karena lupa kepada Allah.
Bibirku bergetar ketika mulai mengucapkan Allahu Akbar. Aku memilih shalat dhuha, karena waktu lohor masih tiga jam lagi. Sambil tersedu-sedu, kuakhiri shalatku dengan doa yang panjang.
"Kiplik!Â
Aku tersentak. Kepalaku terasa damai. Hatiku sejuk. Aku menoleh, dan melihat seraut wajah ramah di belakangku.
"Kak Hasyim! Wah!" Aku memeluknya erat-erat. Aku merasakan bau pantai di tubuhnya. "Sedang apa ke mari?"
"Kakak yang ingin bertanya. Kenapa tak pulang-pulang ke Sungsang? Apa kerjamu di sini? Tubuhmu, wah...." Dia sedih melihat tubuhku yang ceking."Mak selalu menitip agar aku mencarimu.Tak ada kabar berita darimu. Padahal jarak kan tak terlalu jauh. Kipli, Kipli!"Â
"Aku malu Kak Hasyim.Uang Mak telah ludes.Sementara pekerjaanku hanya luntang-lantung."
"Kalau Mak sakit...." Kak Hasyim menggantung ucapannya.Darahku berdesir.Pasti ada apa-apa dengan Mak.Semoga dia tetap panjang umur ya, Allah.
"Kenapa dengan Mak?"Kuguncang bahu lelaki itu.
"Mak sakit rindu kepadamu."Dia tertawa.Aku memukul pelan bahunya.
* * *
Kurasakan deru angin menembus pori-poriku.Kuhela napas dengan lapang.Sekarang aku bukanlah Kiplik yang tenggelam berhari-hari di keriuhan Palembang.Bukan pula terdayu-dayu angin pantai Sungsang.Tapi aku telah menjadi kernet truk Kak Hasyim, yang mengambil bahan pokok dari Palembang menuju Sungsang, sebaliknya membawa ikan dan segala yang berhubungan dengan laut dan pantai dari Sungsang menuju Palembang.
"Kiplik!"
Aku menoleh. Kak Hasyim mengangsurkan nasi bungkus berbau harum.
---sekian---
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI