Begitu kami bertemu di rumah kontrakan, Mahmud memberiku uang beberapa lembar.
"Inilah hidup, Kiplik. Kalau mau kaya dengan cara mudah."
Aku mengusap wajah menahan gundah. "Berarti Kak Mahmud?"
"Ya, aku seorang pencopet. Aku juga penodong. Perampok. Apa saja. Yang penting bisa dijadikan uang." Dia tertawa. "Besok kuajari kau menjadi kaya mendadak." Mahmud rebah di kasur. Dengkurnya menggergaji liang telingaku.
Aku memilih minggat. Dalam silsilah keluargaku, tak ada seorang pun yang bekerja untuk menyelekakan orang. Meresahkan masyarakat. Betapapun miskinnya kami, tetaplah mencari pengidupan dengan cara halal. Uang pemberian Mahmud kuberikan kepada pengemis. Dan seperti juragan, aku melenggang di pusat kota. Aku masih memiliki simpanan uang Mak.
Tapi berapakah kekuatan uang orang dusun di tengah ganasnya kota besar? Segala-galanya bayar. Kencing pun bayar. Tak sampai hitungan pekan, kantongku benar-benar kosong.Â
Apakah aku harus kembali menemui Mahmud? O, tak mungkin! Aku kemudian memilih menjadi pengemis ketimbang menjadi pencopet.Â
Berbekal kenalan dengan Rul, ternyata kelas yang kudapat setingkat di atas pengemis. Aku menjadi pengamen. Keluar-masuk rumah makan. Keluar-masuk bis kota. Kucing-kucingan dengan aparat. Bahkan pekerjaan yang kuhindari, terpaksa dilakukan demi membela teman. Tak jarang karena membela Rul, aku harus ikut bertarung. Harus ikut terluka dan wajah lebam-lebam. Dari Rul pula aku mulai belajar merasakan getar alkohol. Bahkan merasakan bagaimana gejolak "ngelem" seperti yang sudah kulakukan beberapa pekan ini.
"Kiplik!"
Aku tersentak. Kepalaku berkelontangan. Cahaya hangat menyambar wajah, dan memaksaku perlahan membuka mata. Ada sesiapa di hadapanku. Mak! Dia menatapku seperti menghukum.
"Ini kerjamu di Palembang, Kiplik? Mana anak sholeh yang dulu Mak kenal? Apakah kau masih ingat Allah? Kiplik, bila Mak tiada, hanya doamu yang Mak harapkan agar terbebas dari siksa Allah."