Byarrr!
Seseorang menyiram wajahku. Seorang perempuan. Bukan Mak. Tapi dia perempuan gemuk dengan parang dan ember di tangan. Teriaknya, "Suh, pergi! Sudah siang masih molor! Aku mau jualan, tahu dak? Ikan-ikan ini busuk kalau dak laku hari ini. Suh, pergi!" Seperti seekor anjing, aku diusir.
Terhuyung aku meninggalkan perempuan itu. Sementara ingatanku tentang Mak, mencambuk-cambuk isi kepala. Ya, Allah, apa yang kudapat di kota besar ini selain mudarat? Dulu aku rajin shalat, sekarang tak pernah lagi. Dulu aku tak merokok, sekarang jangankan merokok, minum alkohol dan "ngelem" pun menjadi rutinitas.
Tatapku terbentur sebuah menara masjid tiga lemparan batu dariku. Tak ada salahnya meminta maaf kepada Allah. Dan ini memang harus. Kalau pun aku mesti pulang kembali ke Sungsang, biarlah tetap melarat begini. Tapi melarat hendaknya hanya melarat badan, bukan melarat jiwa karena lupa kepada Allah.
Bibirku bergetar ketika mulai mengucapkan Allahu Akbar. Aku memilih shalat dhuha, karena waktu lohor masih tiga jam lagi. Sambil tersedu-sedu, kuakhiri shalatku dengan doa yang panjang.
"Kiplik!Â
Aku tersentak. Kepalaku terasa damai. Hatiku sejuk. Aku menoleh, dan melihat seraut wajah ramah di belakangku.
"Kak Hasyim! Wah!" Aku memeluknya erat-erat. Aku merasakan bau pantai di tubuhnya. "Sedang apa ke mari?"
"Kakak yang ingin bertanya. Kenapa tak pulang-pulang ke Sungsang? Apa kerjamu di sini? Tubuhmu, wah...." Dia sedih melihat tubuhku yang ceking."Mak selalu menitip agar aku mencarimu.Tak ada kabar berita darimu. Padahal jarak kan tak terlalu jauh. Kipli, Kipli!"Â
"Aku malu Kak Hasyim.Uang Mak telah ludes.Sementara pekerjaanku hanya luntang-lantung."
"Kalau Mak sakit...." Kak Hasyim menggantung ucapannya.Darahku berdesir.Pasti ada apa-apa dengan Mak.Semoga dia tetap panjang umur ya, Allah.