Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Imam Masjid

19 Maret 2019   15:11 Diperbarui: 19 Maret 2019   15:48 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pixabay.com

Sejak pulang dari Mekkah tahun 2005, aku menjadi panutan warga Desa  Sidorukun. Kata warga, aku telah mendapat predikat haji mabrur. Aku tentu senang-senang saja. Apalagi di masjid, maupun di acara-acara yang berbau keagamaan, aku selalu dinomorsatukan. Dinomorsatukan di sini, maksudku, ketika shalat berjamaah di masjid, aku dijadikan imam. Ketiga warga menyelenggarakan acara keagamaan semisal maulid Nabi Muhammad SAW, aku dijadikan penceramah. Minimal kalau sudah memesan penceramah kondang dari ibukota, jadilah aku sebagai pembaca doa saja.

Selebihnya, aku malahan dianggap sakti masalah obat-mengobat. Wajar saja setiap ada warga yang sakit, terlebih dulu meminta wejangan dariku sebelum berobat medis. Biasanya aku membaca ayat-ayat pendek Al Qur'an, kemudian meniupkannya ke segelas air putih. Air putih itulah yang diminum pasien. Alhamdulillah, banyak juga yang sembuh. 

Tidak dapat tidak---meski aku selalu menolak---warga yang berobat sering menyelipkan uang ke tanganku saat kami bersalaman. Itulah yang menambahi belanja dapur, selain penghasilan bulananku dari pensiunan perusahaan BUMN. Bahkan boleh dibilang, renovasi kamar mandi di belakang rumah, semuanya dari hasil mengobati warga, yang kemudian tak hanya datang dari Sidorukun, melainkan dari desa-desa tetangga. Akhirnya aku lebih dikenal sebagai Datu Haji. Artinya, Datu adalah dukun, dan haji adalah titel yang kusandang sepulang dari tanah suci.

Stelah kedatangan lelaki berusia sekitar duapuluh lima tahunan itu di desa kami, lambat-laun pamorku redup. Siapa sih nama pemuda itu? Kalau tak salah, Kamil. Warga memanggilnya Ustadz Kamil. Dia tamatan pesantren yang cukup terkenal di Tanah Jawa. Keberadaannya di desa ini mutlak karena dia adalah menantu Haji Alim yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku.

Itulah yang membuatku uring-uringan. Jatah imam shalat berjamaah di masjid menjadi terbagi dua. Satu jatahku, satu jatah dia. Hanya saja, dialah yang paling sering menjadi imam shalat. Sebab, aku mulai uzur, sehingga selalu terlambat tiba di masjid. Kalau dulu, jamaah menungguku datang. Saat Ustadz Kamil ada, tentulah mereka tak mau mengulur-ulur waktu. Toh sudah ada imam yang sefasih, bahkan mungkin lebih fasih dari aku.

Terlebih-lebih dia sangat pandai berceramah. Kata orang, setiap patah katanya sangat menusuk hati sanubari. Sudah barang tentu pilihan penceramah setiap ada acara keagamaan, selalu jatuh kepadanya. Hitung-hitung mengurangi biaya transportasi kalau harus memanggil penceramah dari ibukota, begitu anggapan warga. Dan yang lebih menyakitkan lagi, dia merangkap ahli pengobatan herbal. Jadinya warga yang meminta air jampi-jampian dariku, beralih ke tempat Kamil.

Aku meradang. Aku uring-uringan, sehingga hampir dua minggu ini tak lagi shalat berjamaah di masjid, kecuali shalat Jum'at.

"Assalamu'alaikum, Datu Haji," sapa Haji Alim ketika aku sedang bersantai menikmati udara pagi di halaman rumah. Aku langsung menyambutnya dengan senyum sumringah, kemudian memeluknya erat-erat.

"Wa'alaikumsalam, Haji Alim. Apa kabar?" tanyaku berbasa-basi. Sebenarnya aku memiliki sedikit perasaan sungkan terhadap haji yang satu ini. Sebab dia sekarang menjadi mertua dari orang yang kubenci.

"Datu tak pernah lagi muncul di masjid. Kenapa?" Dia bertanya ketika kami sudah sama-sama duduk berdua saling berhadap-hadapan.

Aku kelabakan ditanya begitu. Aku belum memiliki jawaban yang tepat. Karena sejak pulang naik haji sekian tahun lalu itu, aku tak pernah absen shalat berjamaah di masjid, kecuali ada halangan seperti menghadiri acara atau kepentingan mendadak di desa lain atau di kota. Tapi sekarang aku tak pergi ke mana-mana. Waktu luangku banyak. Kenapa harus meninggalkan shalat berjamaah yang duapuluh tujuh kali pahalanya dibandingkan shalat sendirian itu? Padahal dulunya aku selalu tak kehabisan kata menyarankan warga agar shalat berjamaah di masjid. 

"Encokku belakangan ini sering kumat. Maafkanlah aku absen terus shalat berjamaah di masjid. Kan tak baik, bila sebagai imam, tiba-tiba encokku kumat dan shalat seketika distop. Lebih baiklah orang-orang muda saja yang menggantikanku."

Sebenarnya aku menyindir menantunya itu. Tapi, sepertinya haji ini tak tanggap. Dia hanya mengharapkan encokku lekas baikan. Dia akhirnya berdiri, dan pamitan, Sementara aku langsung ke kamar sekadar rebahan di kasur. Istriku yang sedang khusyuk mengaji, seketika terjaga. Dia meletakkan Qur'an di meja sudut kamar.

"Bapak ini kok lucu! Seperti anak kecil saja! Sudahlah, bapak shalat berjamaah lagi ke masjid. Tak enak dilihat orang," kata istriku.

"Tak enak dilihat Allah atau orang?" Aku memunggunginya. Sakit rasanya dibuat tak berharga oleh anak baru kemarin. Kamil itu belum ada apa-apanya dibandingkan aku. Dia hanya seorang tamatan pesantren. Tapi, aku? Aku sudah bertitel haji. Usiaku hampir enampuluhan tahun. Lagi pula aku warga asli Desa Sidorukun. 

Biar sajalah, aku tak usah ke masjid dulu, kecuali hendak shalat Jum'at. Agar warga merasa bahwa aku sakit hati.

Tiba-tiba aku mendengar suara Kamil. Entah dengan siapa dia berbincang. "Pokoknya kalau seluruh warga memilih aku sebagai imam tetap di masjid, Desa Sidorukun akan dilimpahi rahmat oleh Allah."

"Ah, yang benar, Mas?" Seseorang menyela. Aku tak hafal suaranya. Tapi, aku semakin serius mencermati setiap patah kata yang keluar dari mulut mereka.

"Benar!"

"Tapi, bagaimana dengan Haji Lepen? Dia belakangan ini uring-uringan terus. Kalau sampai Mas menjadi imam tetap di masjid, bisa-bisa haji itu minggat dari kampung kita. Haji Lepen orangnya nekatan lho, Mas!"

Aku meradang. Aku langsung meneriakkan nama Kamil dengan penuh amarah. Hanya saja sebuah sentuhan halus membuatku tersadar. Kukucek mata. Aku tersadar bahwa sebenarnya aku baru saja bermimpi.

"Siang-siang kok mengigau, Pak! Makanya, jangan banyak memikirkan yang tidak-tidak. Kamil itu tak usah dimusuhi. Dia lelaki yang baik, sopan dan ramah," kata istriku sehingga telingaku panas. Aku langsung ke kamar mandi. Kataku kepada istri, aku akan pergi ke pasar.

"Nanti sholat Zuhur di mana, Pak?"

"Di rumah teman!" jawabku setengah menggerutu.

Selepas bersih-bersih, aku menaiki sepeda kumbang dengan hati ngedumel. Beberapa warga menyapa ramah. Aku membalas dengan senyum yang mungkin tampak getir. 

Sepanjang perjalanan aku memikirkan Kamil. Sebenarnya sikap memusuhi lelaki itu hanya mendatangkan dosa bagiku. Selama tinggal di Desa Sidorukun tak sekalipun dia menimbulkan masalah. Malahan warga yang sebelumnya enggan ke masjid, seorang-dua tergoda memasuki rumah Allah itu. Alhasil, masjid lumayan berisi. Tapi, kenapa hatiku tak bisa diajak kompromi? Aku merasa dia adalah musuh bebuyutanku. Dia telah mencabik-cabik kedigjayaan seorang Haji Lepen. Tak ada lagi warga yang selalu bertandang ke rumahku untuk bertanya-jawab masalah keagamaan. Terlebih, tak ada pula yang meminta diberikan air jampian. 

Sepeda kumbang kuparkirkan di dekat tempat penjagalan sapi. Seorang-dua lelaki-perempuan menyapaku. Mereka menyalami dan mencium tanganku. Ah, apakah aku salah? Sepertinya warga tetap menghargai seorang Haji Lepen. Mungkinkah aku sudah keterlaluan membenci Kamil? Aku barangkali sudah gelap mata. Aku hanya terbawa hembusan amarah dari setan. 

"Mau belanja mie ayam, Pak?" Tiba-tiba seseorang menyapaku. Dia lelaki bertopi pandan yang sedang mendorong gerobak jualannya. Aroma mie ayam yang mengejar selera laparku, pun membuatku menghentikan laju langkah. Jadilah singgah sebentar menikmati mie ayam yang dijual lelaki itu.

"Satu mangkok saja, Mas!" kataku tanpa melihat ke wajah orang itu. Ramainya pasar dengan barang jualan aneka ragam, menarik minatku untuk memperhatikan lebih teliti. Siapa tahu ada barang yang memang layak dibeli.

Lelaki bertopi pandan itu mengambil sebuah bangku, kemudian mempersilahkanku duduk. Sebuah mangkok yang dipenuhi potongan ayam dan mie, berpindah dari tangannya ke tanganku. Mie ayam yang wangi. Mie ayam yang menggoda selera. 

Sekian menit berlalu, mangkok sudah kosong. Mangkok itu berpindah dari tanganku ke tangan lelaki bertopi pandan itu. Kemudian aku merogoh selembar uang sepuluh ribuan.

"Oh, tak usah dibayar, Pak! Hari ini saya kasih gratis untuk Bapak." Dia membuka topi pandannya, sehingga mataku terbelalak. Lelaki penjual mie ayam itu adalah Kamil. Lho, bukankah di seorang ustadz? Kenapa dia berjualan mie ayam?

"Pekerjaan sambilan saya ketika pekan adalah berjualan mie ayam, Pak Haji. Meskipun mungkin kelihatan hina, yang penting bisa dijadikan duit dan halal. Bapak pasti terkejut, ya?"

Mie ayam yang telah bersemayam di dasar lambungku, seketika berontak. Aku tak sadar telah menikmati makanan yang dijual musuhku. Coba saja kalau dia mendendam terhadap sikapku yang selalu ketus kepadanya. Bisa-bisa dia menaruh racun di makananku. Dan besok pagi tinggal namaku saja yang tertulis di sebuah papan putih di depan rumah; Telah Meninggal Dunia Haji Lepen, tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian. Dikuburkan jam sekian setelah shalat Zuhur.

"Kenapa Bapak sudah lama tak ke masjid? Warga selalu bertanya-tanya apakah Bapak sehat-sehat saja." Dia tersenyum. Seorang pembeli datang ingin dilayani.

"Aku sehat-sehat saja. Tak ada masalah dengan tubuhku," jawabku. Pembeli berikutnya datang lagi. Aku langsung permisi pulang karena tak ingin menggangu pekerjaan Kamil. Di samping itu, aku sudah kesal terlalu lama berbincang dengannya.

Hampir jam duabelas siang barulah aku sampai di rumah. Istriku sudah menghidangkan makanan di meja. Aku menolak makan siang karena perutku masih kenyang. 

"Aku baru saja makan mie ayam di pasar," ucapku. Istriku menoleh. Dia mencandai bahwa aku paling senang makan tanpa mengajak-ngajak keluarga. "Tahukah Ibu siapa penjual mie ayam itu?"

"Aku tak mungkin tahu, Pak. Penjual mie ayam di pasar, banyak."

"Dia itu Kamil!"

"Kamil? Maksud Bapak, Ustadz Kamil tetangga kita, Pak? Kok bisa?"

"Itulah yang membuatku heran. Dia kan seorang ustadz, kenapa harus berjualan mie ayam segala? Bukankah itu menurunkan pamornya?"

"Ah, aku rasa tak sampai menurunkan pamor, Pak. Dulu bapakku penjagal sapi juga di pasar. Tapi ketika tiba waktu shalat, dia tetap menjadi imam di masjid. Yang penting pekerjaan itu halal." Istriku mulai membela Kamil.

"Tapi, mungkinkah dia menaruh racun di mangkok mie ayamku?"

"Ah, Bapak ini tak boleh bersyakwasangka begitu. Tak baik." Dia menyerahkan kain sarung kepadaku. "Lebih baik Bapak shalat Zuhur dulu."

Aku hanya mengedikkan bahu sambil berjalan ke kamar. Ketika istriku menjeritkan agar aku shalat di masjid saja, aku hanya menggumam tak jelas. Hampir kupegang handle pintu kamar saat seseorang mengucapkan salam di teras rumah.

"Wa'alaikum Salam. Siapa, ya?" Aku membuka pintu lebar-lebar. Hambali, ketua karang taruna Desa Sidorukun, telah berdiri di situ dengan rambut kusut dan wajah pias. "Ada perlu apa, Mbali?"

"Saya hanya ingin memberitahu kabar buruk, Pak. Ustadz Kamil ditabrak truk fuso barusan. Kabarnya dia meninggal di tempat, Pak." Aku ternganga. "Sudah dulu ya, Pak! Saya harus memberitahu ke yang lain. Assalamu'alaikum."

Aku menjawab salamnya dengan pikiran tak tenang. Musuhku itu kini sudah meninggal dunia. Senangkah aku? Ya, Allah, apa sebenarnya yang telah kuperbuat. Kenapa hanya perkara imam di masjid sampai yang berkenaan dengan penceramah di acara-acara keagamaan, telah membuatku memusuhi orang sebaik Kamil? Harusnya aku bersyukur ada orang yang konsern terhadap Islam. Berarti ketika aku meninggal, sudah ada yang menggantikanku. Ya, Allah, aku belum sempat meminta maaf kepadanya, meski dia sebenarnya tak tahu bahwa aku sangat membencinya.

"Ada apa, Pak?" Istriku tiba-tiba memegang lenganku.

"Ada yang meninggal." Tubuhku goyah.

"Siapa?"

"Ustadz!"

"Ustadz?!"

"Iya, Ustadz Kamil!"

Mata istriku melotot. Mata itu seolah menghukum bahwa aku telah berbuat salah memusuhi seorang kekasih Allah

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun