Mie ayam yang telah bersemayam di dasar lambungku, seketika berontak. Aku tak sadar telah menikmati makanan yang dijual musuhku. Coba saja kalau dia mendendam terhadap sikapku yang selalu ketus kepadanya. Bisa-bisa dia menaruh racun di makananku. Dan besok pagi tinggal namaku saja yang tertulis di sebuah papan putih di depan rumah;Â Telah Meninggal Dunia Haji Lepen, tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian. Dikuburkan jam sekian setelah shalat Zuhur.
"Kenapa Bapak sudah lama tak ke masjid? Warga selalu bertanya-tanya apakah Bapak sehat-sehat saja." Dia tersenyum. Seorang pembeli datang ingin dilayani.
"Aku sehat-sehat saja. Tak ada masalah dengan tubuhku," jawabku. Pembeli berikutnya datang lagi. Aku langsung permisi pulang karena tak ingin menggangu pekerjaan Kamil. Di samping itu, aku sudah kesal terlalu lama berbincang dengannya.
Hampir jam duabelas siang barulah aku sampai di rumah. Istriku sudah menghidangkan makanan di meja. Aku menolak makan siang karena perutku masih kenyang.Â
"Aku baru saja makan mie ayam di pasar," ucapku. Istriku menoleh. Dia mencandai bahwa aku paling senang makan tanpa mengajak-ngajak keluarga. "Tahukah Ibu siapa penjual mie ayam itu?"
"Aku tak mungkin tahu, Pak. Penjual mie ayam di pasar, banyak."
"Dia itu Kamil!"
"Kamil? Maksud Bapak, Ustadz Kamil tetangga kita, Pak? Kok bisa?"
"Itulah yang membuatku heran. Dia kan seorang ustadz, kenapa harus berjualan mie ayam segala? Bukankah itu menurunkan pamornya?"
"Ah, aku rasa tak sampai menurunkan pamor, Pak. Dulu bapakku penjagal sapi juga di pasar. Tapi ketika tiba waktu shalat, dia tetap menjadi imam di masjid. Yang penting pekerjaan itu halal." Istriku mulai membela Kamil.
"Tapi, mungkinkah dia menaruh racun di mangkok mie ayamku?"