"Nanti sholat Zuhur di mana, Pak?"
"Di rumah teman!" jawabku setengah menggerutu.
Selepas bersih-bersih, aku menaiki sepeda kumbang dengan hati ngedumel. Beberapa warga menyapa ramah. Aku membalas dengan senyum yang mungkin tampak getir.Â
Sepanjang perjalanan aku memikirkan Kamil. Sebenarnya sikap memusuhi lelaki itu hanya mendatangkan dosa bagiku. Selama tinggal di Desa Sidorukun tak sekalipun dia menimbulkan masalah. Malahan warga yang sebelumnya enggan ke masjid, seorang-dua tergoda memasuki rumah Allah itu. Alhasil, masjid lumayan berisi. Tapi, kenapa hatiku tak bisa diajak kompromi? Aku merasa dia adalah musuh bebuyutanku. Dia telah mencabik-cabik kedigjayaan seorang Haji Lepen. Tak ada lagi warga yang selalu bertandang ke rumahku untuk bertanya-jawab masalah keagamaan. Terlebih, tak ada pula yang meminta diberikan air jampian.Â
Sepeda kumbang kuparkirkan di dekat tempat penjagalan sapi. Seorang-dua lelaki-perempuan menyapaku. Mereka menyalami dan mencium tanganku. Ah, apakah aku salah? Sepertinya warga tetap menghargai seorang Haji Lepen. Mungkinkah aku sudah keterlaluan membenci Kamil? Aku barangkali sudah gelap mata. Aku hanya terbawa hembusan amarah dari setan.Â
"Mau belanja mie ayam, Pak?" Tiba-tiba seseorang menyapaku. Dia lelaki bertopi pandan yang sedang mendorong gerobak jualannya. Aroma mie ayam yang mengejar selera laparku, pun membuatku menghentikan laju langkah. Jadilah singgah sebentar menikmati mie ayam yang dijual lelaki itu.
"Satu mangkok saja, Mas!" kataku tanpa melihat ke wajah orang itu. Ramainya pasar dengan barang jualan aneka ragam, menarik minatku untuk memperhatikan lebih teliti. Siapa tahu ada barang yang memang layak dibeli.
Lelaki bertopi pandan itu mengambil sebuah bangku, kemudian mempersilahkanku duduk. Sebuah mangkok yang dipenuhi potongan ayam dan mie, berpindah dari tangannya ke tanganku. Mie ayam yang wangi. Mie ayam yang menggoda selera.Â
Sekian menit berlalu, mangkok sudah kosong. Mangkok itu berpindah dari tanganku ke tangan lelaki bertopi pandan itu. Kemudian aku merogoh selembar uang sepuluh ribuan.
"Oh, tak usah dibayar, Pak! Hari ini saya kasih gratis untuk Bapak." Dia membuka topi pandannya, sehingga mataku terbelalak. Lelaki penjual mie ayam itu adalah Kamil. Lho, bukankah di seorang ustadz? Kenapa dia berjualan mie ayam?
"Pekerjaan sambilan saya ketika pekan adalah berjualan mie ayam, Pak Haji. Meskipun mungkin kelihatan hina, yang penting bisa dijadikan duit dan halal. Bapak pasti terkejut, ya?"