"Ah, Bapak ini tak boleh bersyakwasangka begitu. Tak baik." Dia menyerahkan kain sarung kepadaku. "Lebih baik Bapak shalat Zuhur dulu."
Aku hanya mengedikkan bahu sambil berjalan ke kamar. Ketika istriku menjeritkan agar aku shalat di masjid saja, aku hanya menggumam tak jelas. Hampir kupegang handle pintu kamar saat seseorang mengucapkan salam di teras rumah.
"Wa'alaikum Salam. Siapa, ya?" Aku membuka pintu lebar-lebar. Hambali, ketua karang taruna Desa Sidorukun, telah berdiri di situ dengan rambut kusut dan wajah pias. "Ada perlu apa, Mbali?"
"Saya hanya ingin memberitahu kabar buruk, Pak. Ustadz Kamil ditabrak truk fuso barusan. Kabarnya dia meninggal di tempat, Pak." Aku ternganga. "Sudah dulu ya, Pak! Saya harus memberitahu ke yang lain. Assalamu'alaikum."
Aku menjawab salamnya dengan pikiran tak tenang. Musuhku itu kini sudah meninggal dunia. Senangkah aku? Ya, Allah, apa sebenarnya yang telah kuperbuat. Kenapa hanya perkara imam di masjid sampai yang berkenaan dengan penceramah di acara-acara keagamaan, telah membuatku memusuhi orang sebaik Kamil? Harusnya aku bersyukur ada orang yang konsern terhadap Islam. Berarti ketika aku meninggal, sudah ada yang menggantikanku. Ya, Allah, aku belum sempat meminta maaf kepadanya, meski dia sebenarnya tak tahu bahwa aku sangat membencinya.
"Ada apa, Pak?" Istriku tiba-tiba memegang lenganku.
"Ada yang meninggal." Tubuhku goyah.
"Siapa?"
"Ustadz!"
"Ustadz?!"
"Iya, Ustadz Kamil!"
Mata istriku melotot. Mata itu seolah menghukum bahwa aku telah berbuat salah memusuhi seorang kekasih Allah
---sekian---