Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Beringin Ayah

18 Maret 2019   16:12 Diperbarui: 18 Maret 2019   16:31 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angin semilir berhembus di antara enam batang pohon beringin yang membatasi jalan setapak dengan kebun karet di seberang. Senja belum jatuh benar. Tapi seperti biasa, kami betah berlama-lama di sini. Kendati memang, terkadang ada rasa takut membelit, manakala melihat pohon raksasa dengan juntaian tangan tak terhitung itu.

Kami membayangkan juntaian tangan itu membelit tubuh kami. Mengangkat kami ke atas, dan semakin ke atas. Lalu, memeluk erat, hingga kami menjelma batang dan terbenam di dalam rongganya.

Telah kami dengar cerita tentang pohon-pohon itu. Pohon yang ditanam kakek. Pohon ajaib yang kata orang kembaran Sampean. 

Sampean itu adalah nama ayah kami---maksudku ayahku dan Iqbal. Dulu, bila pohon-pohon beringin tumbuh cepat dan segar, demikian pula ayah tumbuh cepat dan segar. Bila ayah tiba-tiba sakit, pohon-pohon beringin itu ikut sakit. Daun-daunnya menguning. Batangnya kurus-kering. Dan bila ada orang yang berteduh di bawahnya, hawa bukan bertambah sejuk, melainkan bertambah panas, seperti panas demam yang ayah alami.

Itulah yang menyebabkan kakek berjuang sekuat tenaga menjaga pohon-pohon beringin itu. Apalagi karena pernah seseorang iseng menyabet juntain tangan sebatang pohon beringin dengan parang. Akibatnya ayah terjatuh saat menaiki tangga rumah. Tangan ayah patah. Kakek buru-buru membawa ayah ke tukang urut. Lalu dia melanjutkan menyambung juntaian tangan pohon beringin yang putus itu dengan potongan yang tergeletak di atas tanah.

Ajaib sekali, ketika tangan ayah sembuh sebulan kemudian, juntaian tangan pohon yang putus itu, tersambung lagi seperti sediakala. Maka sejak itu semakin awaslah kakek terhadap keberadaan pohon-pohon beringin itu. 

Berita tentang ayah memiliki kembaran pohon beringin, menyebar dari mulut ke mulut. Jadi, tak hanya keluarga besar kakek yang menjaganya, juga seluruh orang kampung. Kendati kemudian ada orang yang pernah bunuh diri di sebatang pohon itu dengan menjeratkan juntaian tangan di leher, orang kampung tak bisa berbuat banyak kendati ingin menebang dan menganggapnya muasal masalah. 

Lalu, tiga orang menyusul memanfaatkan pohon-pohon itu sebagai tempat aman melakukan ritual bunuh diri. Orang kampung tetap tak bisa berbuat banyak, kecuali menganggap pohon-pohon itu menjadi sangat angker dan menyeramkan. Kalau tak ada teman, tak seorang pun yang berani menyadap karet di kebun seberang pohon-pohon beringin itu.

Akan hal kami, mulanya ngeri melihat daun-daun pohon beringin yang seperti mencakar angkasa. Tapi sehari demi sehari, ketika kami semakin mendekatinya, seolah ada magnet yang menarik kami merapat. Iqbal mula-mula yang bercerita tentang hubungan ayah dan pohon-pohon beringin itu. Lalu beberapa teman mengatakan, pohon-pohon beringin itu berotot dan gagah seperti ayah. Terlihat seram, tapi bila didekati, bermata teduh dan menenangkan.

Kami sering berayun di juntaian tangannya, melolong-lolong serupa monyet berayun dari dahan ke dahan. Aku pernah mengajuk ingin berayun di tangan ayah seperti berayun di juntaian tangan pohon beringin. Ayah tertawa. Tapi ayah tetap mau melakukannya, hingga aku merasa seperti berayun di tengah hutan, disiram udara segar melenakan.

* * *

Ibu paling keras menolak keinginan Iqbal. Tubuh ibu tegang. Dia beberapa kali berdiri di bingkai jendela. Menatap jauh, seakan melihat masa lalu ketika kami masih kanak-kanak. "Pokoknya kau harus memikirkannya, Iqbal. Keselamatan ayahmu! Apa kau ingin ayahmu mati muda?" ulangnya lagi. Dia meludah. Berjalan menuju kamar, membanting pintu, dan membuat kami---maksudku Iqbal dan aku---tersentak. 

Usia ayah enam puluh satu tahun. Jadi, percuma ibu mengatakan lelaki itu masih muda. Namun, siapa yang mau ditinggal mati orang yang kami sayangi? Di usia senja, dia masih gagah, kokoh, seperti pohon-pohon beringin itu. Aku tak ingin dia mati, sama seperti yang ada di benak ibu, juga di benak Iqbal yang menatapku seperti meminta dukungan.

"Aku tak bisa membantumu, Bang!" ucapku pelan.

"Jadi untuk apa kau sekolah guru? Pikiranmu masih tetap udik. Semua itu takhayul, Ikram! Lagi pula, kau guru agama. Apa yang ada di benakmu, bisa membuatmu musyrik!"

Selain ibu, akulah orang kedua yang menolak keinginan Iqbal. Dia sekarang bukan Igbal yang dulu. Dia menjadi pengusaha property. Beberapa lokasi perumahan telah dia bangun, dan membuatnya kaya. Beberapa rumah toko dan rumah kantor, pun semakin menggemukkan pundi-pundinya. Tapi itu semua dia bangun di kota. Sekarang, dia bermaksud membangun lokasi perumahan di tanah ayah dan beberapa hektare tanah penduduk. Itu artinya kampung ini harus kehilangan beratus pohon karet. Itu artinya Iqbal akan memangkas habis pohon-pohon beringin kembaran ayah.

Aku masih termakan mitos tentang ayah dan kembarannya itu. Bagaimana kelak jika pohon-pohon beringin itu ditumbangkan, dan membuat ayah ikut tumbang alias mati? Takdir manusia di tangan Tuhan. Hanya, bagaimana kalau memang ayah memiliki keterkaitan dengan pohon-pohon beringin itu? Bagaimana kalau mereka memang satu badan, kendati mereka berbeda jenis dan tempat?

Hanya saja, bukan itu yang menguatkan hatiku menolak rencana Iqbal. Aku takut rencananya membuat perumahan yang tentu saja akan membabat habis seluruh pohon beringin itu, adalah awal yang akan menjebloskan kehidupan kota ke dalam alam pedesaan. Yang dulunya alami, beralih menjadi santapan teknologi. Yang dulu penuh pohon, menjelma rumah-rumah dan jalan-jalan tanpa menyisakan tanah untuk bernapas. Agar tanah-tanah itu bisa meresap air hujan dan cahaya matahari dengan bebas. 

Hutan di kampung sebelah telah mengalaminya. Dulu tempat itu rimbun oleh pepohon. Air sungai mengalir deras dan jernih dengan rumpun bambu yang saling mengapit. Setiap pagi atau senja datang, orang-orang merubungnya sekadar membersihkan badan atau bercengkerama dengan sesama. Hingga hutan kemudian dijamah pengusaha kebun sawit. Tanahnya pun mengering seiring pohon-pohon sawit membesar dan melahap seluruh air tanah. Hingga sungai yang mengalir deras dan jernih itu, berubah kanal kecil berwarna coklat karat dan berbau.

* * *

Rapat dadakan di meja makan, pecah oleh tawa besar ayah. Iqbal melebarkan senyum. Dia menambah satu sendok nasi dan sepotong paha ayam goreng ke atas piring. Jawaban ayah membuatnya puas dan lapar. Sementara aku dan ibu hanya terpelongo. Kami pikir, awalnya ayah akan marah besar. 

Ayah berhenti tertawa dan berkata, "Dari dulu aku memang tak setuju dianggap kembaran pohon-pohon beringin itu. Apa coba hubungan manusia dengan pohon? Tak ada, kan, kecuali kita sama-sama makhluk Tuhan! Dan sama-sama saling membutuhkan. Benar, kalau kita mesti menjaganya agar alam tetap aman dan nyaman ditinggali. Hanya saja kalau Iqbal berniat membangun perumahan dan mesti merubuhkan pohon-pohon beringin itu dan pohon lainnya, aku pikir tak ada yang salah. Pembangunan  lambat-laun masuk perkampungan. Kota lama-lama melebar dan menjangkau kampung."

"Tapi tentang kelestarian alam?" selaku.

Dia tersenyum. Setelah mengelap mulut dengan sapu tangan, dia melanjutkan kata-katanya, "Ya, tentu saja kita harus melestarikan alam."

"Tenang saja! Aku akan membangun taman-taman kecil dan menanam pohon-pohon besar sebagai penuduh. Pembangunan tak mesti merusak alam, kan? Lagi pula aku tak akan merusak hutan seperti di kampung sebelah. Semua sudah direncanakan dengan matang." Iqbal seolah berceramah. Ibu tertunduk. Kalau ayah setuju, ibu akan mengiyakan. Prinsip ibu, ucapan ayah adalah titah raja yang harus dipatuhi. Tinggal aku tak ada pembela. Ketika rapat dadakan usai, meski tanpa notulen, Iqbal sudah sah menjalankan niatnya. Semua mengangguk setuju, termasuk aku.

Hingga dalam hitungan bulan, pembangunan perumahan dimulai. Jalan-jalan dilapang dan keraskan. Segala lobang ditimbun dan tanjakan tajam diturunkan. Suara gergaji mesin meraung, menyisakan daun-daun pohon beringin itu, seolah melambai minta tolong kepada Pemilik Langit. Kemudian suara berdebam bersahutan.

Aku menyusut air mata saat melihat pohon-pohon beringin itu dipotong-potong, dinaikkan ke atas bak truk dan dibawa ke depot kayu. Menyusul pohon-pohon karet merata tanah. Sebulan berselang pula hutan mejadi lapang.  Tanah-tanah dikapling dengan patok-patok, dibuat pondasi-pondasi, sampai bermulalah tumbuh dinding beton yang semringah seperti semringahnya wajah Iqbal.

Awalnya aku menjadi orang luar dalam pembangunan perumahan itu. Belakangan aku masuk ke dalam dan menikmatinya. Bantu-bantu dalam urusan administrasi setidaknya mengalahkan penghasilanku sebagai guru honor di sebuah sekolah swasta. Belum lagi bonus yang kuterima ketika berhasil menjual satu-dua unit rumah. 

Tak terasa kampung ini seperti disulap, tumbuh pesat. Mobil-mobil mentereng hilir-mudik. Warung-warung makan, seperti disemai, bertunas di sepanjang jalan. Kampung menjadi hidup. Orang-orang beralih kerja dari petani atau pekebun, menjadi pedagang, tukang ojek atau semacamnya. 

Dulu, kampung ini tertutup hutan yang lebat dan berkesan gelap. Setelah pembangunan perumahan itu, membuat mata kami terbuka melihat keindahan  suasana di seberang sana. Ada air terjun yang menyela-nyela di bukit batu. Dengan tangan dingin Iqbal, air terjun itu menjadi sangat indah. Di bawah air terjun dia bangun taman buatan, kolam-kolam pemancingan, dan segala pernak-perniknya. Pokoknya kampung menjadi "wah"! 

Aku malu ketika sesekali disindir Iqbal masalah kondisi ayah. Sebelumnya aku paling takut ayah akan meninggalkan alam fana setelah pohon-pohon beringin itu dirubuhkan. Lebih mengejutkan lagi, ternyata ayah menjelma lelaki sehat dan kokoh melebihi sebelumnya. Meskipun berulang-ulang kami tidak mengijinkan dia ikut bekerja keras mengurusi pembangunan perumahan itu, tetap saja dia ngotot. Dia percaya dengan bekerja keras, tubuh tuanya akan bertahan lama. 

"Pekerjaan membuatmu panjang umur. Dan," kata ayah suatu hari saat kami berdua sarapan di warung makan sebelah rumah, "Mitos bahwa ada keterkaitan antara aku dan pohon-pohon beringin itu tak terbukti. Buktinya aku tetap sehat-sehat saja, kendati pohon-pohon itu telah mati."

* * *

Setahun lebih perumahan utuh dihuni. Empat pintu rumah toko dan empat pintu rumah kantor, pun mentereng di atas bekas pohon-pohon beringin itu hidup. Iqbal berencana membuat kolam renang dan arena oleh raga tak jauh dari perumahan itu. Dia sibuk mengurusi pencairan dana kredit di sebuah bank di kota. Hingga suatu berita menariknya pulang lebih awal ke kampung---maksudku ke kota kecil ini. Pemilik rumah toko dan rumah kantor protes. Dinding bangunan yang mereka tempati, beberapa bagian retak. 

Iqbal heran, bagaimana mungkin bangunan itu bisa retak sementara pekerjaan yang dilakukan memang sesuai spesifikasi. Tak ada yang melenceng. Tak ada tipu-tipu. Pengawas, aku dan Iqbal pun memeriksa retakan-retakan di dinding bangunan berlantai tiga itu.  Dan kami menemukan sesuatu.

"Apa ini?" Iqbal heran..

"Seperti tunas pohon beringin," kataku entah kepada siapa.

"Benar! Ini tunas pohon beringin. Tumbuhan inilah yang membuat dinding bangunan retak. Aneh sekali!" Pengawas menimpali.

Aku dan Iqbal saling menatap. Kami mungkin sama-sama mengingat ayah yang makin sehat dan kokoh. 

"Ayah?" gumamku.

"Pohon beringin?" Iqbal membelalak.

----sekian----

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun