Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Beringin Ayah

18 Maret 2019   16:12 Diperbarui: 18 Maret 2019   16:31 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibu paling keras menolak keinginan Iqbal. Tubuh ibu tegang. Dia beberapa kali berdiri di bingkai jendela. Menatap jauh, seakan melihat masa lalu ketika kami masih kanak-kanak. "Pokoknya kau harus memikirkannya, Iqbal. Keselamatan ayahmu! Apa kau ingin ayahmu mati muda?" ulangnya lagi. Dia meludah. Berjalan menuju kamar, membanting pintu, dan membuat kami---maksudku Iqbal dan aku---tersentak. 

Usia ayah enam puluh satu tahun. Jadi, percuma ibu mengatakan lelaki itu masih muda. Namun, siapa yang mau ditinggal mati orang yang kami sayangi? Di usia senja, dia masih gagah, kokoh, seperti pohon-pohon beringin itu. Aku tak ingin dia mati, sama seperti yang ada di benak ibu, juga di benak Iqbal yang menatapku seperti meminta dukungan.

"Aku tak bisa membantumu, Bang!" ucapku pelan.

"Jadi untuk apa kau sekolah guru? Pikiranmu masih tetap udik. Semua itu takhayul, Ikram! Lagi pula, kau guru agama. Apa yang ada di benakmu, bisa membuatmu musyrik!"

Selain ibu, akulah orang kedua yang menolak keinginan Iqbal. Dia sekarang bukan Igbal yang dulu. Dia menjadi pengusaha property. Beberapa lokasi perumahan telah dia bangun, dan membuatnya kaya. Beberapa rumah toko dan rumah kantor, pun semakin menggemukkan pundi-pundinya. Tapi itu semua dia bangun di kota. Sekarang, dia bermaksud membangun lokasi perumahan di tanah ayah dan beberapa hektare tanah penduduk. Itu artinya kampung ini harus kehilangan beratus pohon karet. Itu artinya Iqbal akan memangkas habis pohon-pohon beringin kembaran ayah.

Aku masih termakan mitos tentang ayah dan kembarannya itu. Bagaimana kelak jika pohon-pohon beringin itu ditumbangkan, dan membuat ayah ikut tumbang alias mati? Takdir manusia di tangan Tuhan. Hanya, bagaimana kalau memang ayah memiliki keterkaitan dengan pohon-pohon beringin itu? Bagaimana kalau mereka memang satu badan, kendati mereka berbeda jenis dan tempat?

Hanya saja, bukan itu yang menguatkan hatiku menolak rencana Iqbal. Aku takut rencananya membuat perumahan yang tentu saja akan membabat habis seluruh pohon beringin itu, adalah awal yang akan menjebloskan kehidupan kota ke dalam alam pedesaan. Yang dulunya alami, beralih menjadi santapan teknologi. Yang dulu penuh pohon, menjelma rumah-rumah dan jalan-jalan tanpa menyisakan tanah untuk bernapas. Agar tanah-tanah itu bisa meresap air hujan dan cahaya matahari dengan bebas. 

Hutan di kampung sebelah telah mengalaminya. Dulu tempat itu rimbun oleh pepohon. Air sungai mengalir deras dan jernih dengan rumpun bambu yang saling mengapit. Setiap pagi atau senja datang, orang-orang merubungnya sekadar membersihkan badan atau bercengkerama dengan sesama. Hingga hutan kemudian dijamah pengusaha kebun sawit. Tanahnya pun mengering seiring pohon-pohon sawit membesar dan melahap seluruh air tanah. Hingga sungai yang mengalir deras dan jernih itu, berubah kanal kecil berwarna coklat karat dan berbau.

* * *

Rapat dadakan di meja makan, pecah oleh tawa besar ayah. Iqbal melebarkan senyum. Dia menambah satu sendok nasi dan sepotong paha ayam goreng ke atas piring. Jawaban ayah membuatnya puas dan lapar. Sementara aku dan ibu hanya terpelongo. Kami pikir, awalnya ayah akan marah besar. 

Ayah berhenti tertawa dan berkata, "Dari dulu aku memang tak setuju dianggap kembaran pohon-pohon beringin itu. Apa coba hubungan manusia dengan pohon? Tak ada, kan, kecuali kita sama-sama makhluk Tuhan! Dan sama-sama saling membutuhkan. Benar, kalau kita mesti menjaganya agar alam tetap aman dan nyaman ditinggali. Hanya saja kalau Iqbal berniat membangun perumahan dan mesti merubuhkan pohon-pohon beringin itu dan pohon lainnya, aku pikir tak ada yang salah. Pembangunan  lambat-laun masuk perkampungan. Kota lama-lama melebar dan menjangkau kampung."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun