Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Beringin Ayah

18 Maret 2019   16:12 Diperbarui: 18 Maret 2019   16:31 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tapi tentang kelestarian alam?" selaku.

Dia tersenyum. Setelah mengelap mulut dengan sapu tangan, dia melanjutkan kata-katanya, "Ya, tentu saja kita harus melestarikan alam."

"Tenang saja! Aku akan membangun taman-taman kecil dan menanam pohon-pohon besar sebagai penuduh. Pembangunan tak mesti merusak alam, kan? Lagi pula aku tak akan merusak hutan seperti di kampung sebelah. Semua sudah direncanakan dengan matang." Iqbal seolah berceramah. Ibu tertunduk. Kalau ayah setuju, ibu akan mengiyakan. Prinsip ibu, ucapan ayah adalah titah raja yang harus dipatuhi. Tinggal aku tak ada pembela. Ketika rapat dadakan usai, meski tanpa notulen, Iqbal sudah sah menjalankan niatnya. Semua mengangguk setuju, termasuk aku.

Hingga dalam hitungan bulan, pembangunan perumahan dimulai. Jalan-jalan dilapang dan keraskan. Segala lobang ditimbun dan tanjakan tajam diturunkan. Suara gergaji mesin meraung, menyisakan daun-daun pohon beringin itu, seolah melambai minta tolong kepada Pemilik Langit. Kemudian suara berdebam bersahutan.

Aku menyusut air mata saat melihat pohon-pohon beringin itu dipotong-potong, dinaikkan ke atas bak truk dan dibawa ke depot kayu. Menyusul pohon-pohon karet merata tanah. Sebulan berselang pula hutan mejadi lapang.  Tanah-tanah dikapling dengan patok-patok, dibuat pondasi-pondasi, sampai bermulalah tumbuh dinding beton yang semringah seperti semringahnya wajah Iqbal.

Awalnya aku menjadi orang luar dalam pembangunan perumahan itu. Belakangan aku masuk ke dalam dan menikmatinya. Bantu-bantu dalam urusan administrasi setidaknya mengalahkan penghasilanku sebagai guru honor di sebuah sekolah swasta. Belum lagi bonus yang kuterima ketika berhasil menjual satu-dua unit rumah. 

Tak terasa kampung ini seperti disulap, tumbuh pesat. Mobil-mobil mentereng hilir-mudik. Warung-warung makan, seperti disemai, bertunas di sepanjang jalan. Kampung menjadi hidup. Orang-orang beralih kerja dari petani atau pekebun, menjadi pedagang, tukang ojek atau semacamnya. 

Dulu, kampung ini tertutup hutan yang lebat dan berkesan gelap. Setelah pembangunan perumahan itu, membuat mata kami terbuka melihat keindahan  suasana di seberang sana. Ada air terjun yang menyela-nyela di bukit batu. Dengan tangan dingin Iqbal, air terjun itu menjadi sangat indah. Di bawah air terjun dia bangun taman buatan, kolam-kolam pemancingan, dan segala pernak-perniknya. Pokoknya kampung menjadi "wah"! 

Aku malu ketika sesekali disindir Iqbal masalah kondisi ayah. Sebelumnya aku paling takut ayah akan meninggalkan alam fana setelah pohon-pohon beringin itu dirubuhkan. Lebih mengejutkan lagi, ternyata ayah menjelma lelaki sehat dan kokoh melebihi sebelumnya. Meskipun berulang-ulang kami tidak mengijinkan dia ikut bekerja keras mengurusi pembangunan perumahan itu, tetap saja dia ngotot. Dia percaya dengan bekerja keras, tubuh tuanya akan bertahan lama. 

"Pekerjaan membuatmu panjang umur. Dan," kata ayah suatu hari saat kami berdua sarapan di warung makan sebelah rumah, "Mitos bahwa ada keterkaitan antara aku dan pohon-pohon beringin itu tak terbukti. Buktinya aku tetap sehat-sehat saja, kendati pohon-pohon itu telah mati."

* * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun