Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Titipan

13 Maret 2019   07:37 Diperbarui: 13 Maret 2019   07:52 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terkejut ketika melihat perempuan berperut buncit itu sudah berdiri di depan pintu rumah dengan kondisi tubuh basah kuyup. Tadi, aku memang mendengar suaranya samar-samar. Kupikir suara itu dari televisi di warung Mat Kailani yang dihadang hujan lebat bertimpa-timpa. Untung saja aku iseng membuka pintu, dan seketika iba melihat dia menggigil.

"Tolong, Pak! Tolong, saya mau ke rumah sakit?" Bibirnya bergetar.

Hatiku langsung trenyuh. Meski hujan di luar membuatku bergidik dan mengigil, toh rasa kasihanku lebih lebat lagi. Aku yakin perempuan itu nyaris melahirkan. Kalau tak buru-buru dibawa ke rumah sakit, siapa yang akan menolongnya? Bila tak ada masalah, mungkin bayinya membrojol selamat. Namun bila ada, haruskah dia atau bayinya, atau malahan dua-duanya tewas mengenaskan? Oh, tidak! Tidak! Di mana hati nuranimu Parewa?

"Baiklah! Tunggu sebentar." Aku langsung bersalin pakaian dengan yang lebih tebal. Istriku yang semula menggerutu karena aku harus membecak di tengah hujan yang menggila, akhirnya langsung mengangsurkan jas hujan manakala dia melihat perempuan berperut buncit itu.

Perempuan itu langsung mengucapkan terima kasih berkali-kali saat kusuruh duduk di jok becak. Aku pura-pura tak mendengar. Pandangan dan pikiranku terpaku ke depan. Aku takut di genangan air setinggi mata kaki orang dewasa itu menyisakan lobang yang bisa membuat as becakku patah. Atau setidak-tidaknya pelaknya gimbal.

"Stop di sini, Pak!" jerit perempuan itu. Aku terkejut. Becak baru kukayuh kurang lebih satu kilometer dan rumah sakit masih jauh. Eh... sudah disuruh berhenti. Perempuan yang aneh! Bukankah dia hendak melahirkan di rumah sakit?

Ini, dia malahan menyuruhku mengayuh becak memasuki halaman rumah mewah yang baru selesai dibangun sebulan lalu, setelah pengerjaannya memakan watu nyaris dua tahunan.

"Bukannya ibu mau ke rumah sakit?" Aku mengingatkan. Dia keluar dari dalam becak sambil meringis. 

"Iya, saya memang mau ke rumah sakit, Pak. Tapi bukan saya yang mau berobat, melainkan Tuan Besar." Napasnya memburu. Tatkala mataku tak sengaja melihat sebuah mobil sedan di dekat paviliun, dia pun meneruskan ucapannya, "Tuan memang mempunyai mobil. Tapi siapa yang menyetir? Nyonya besar masih di luar negeri. Si Ma'e, tukang kebun, juga tak bisa menyetir mobil. Sementara Tuan harus cepat di bawa ke rumah sakit. Dia pingsan di dalam. Bantu saya mengangkatnya ke becak, ya!"

"Iyalah!" Aku mengekorinya ke dalam. Bekas telapak sendalku yang berlumpur mengotori lantai yang berkeramik mahal. 

Si perempuan yang ternyata seorang pembantu, pun menyuruhku untuk tak ragu-ragu memasuki rumah mewah itu. Kasihan dia! Dengan kondisi hamil tua masih tetap membabu, dan mesti menolong majikannya yang pingsan terserang penyakit.

Setelah melewati ruang tamu, barulah aku melihat sesosok lelaki gemuk yang terbaring di lantai berkarpet tebal. Dia benar-benar pingsan seperti yang diceritakan pembantu itu. Tapi, Tuhan, tiba-tiba hatiku seperti dicubit. Amat sakit!

Aku mengenal lelaki yang pingsan itu. Ingatankan menjalar ke kejadian dua minggu lalu. Saat itu aku masih berdagang bakso dan sedang mendorong gerobak bakso Juragan Latif di dekat pasar.

Mendadak mobil jeep melaju kencang dari arah berlawanan. Mobil itu menyenggol gerobak bakso hingga terguling. Seisi gerobak tumpah ke parit. Kaca gerobak pecah-memecah. Dindingnya penyok-penyok, serta sebagian rompal.

Hatiku sakit. Orang yang menyetir mobil itu sepertinya tak perduli. Dari jendela mobil diangsurkannya uang limapuluh ribu rupiah. "Untuk ganti rugi!" ketusnya.

"Tapi bagaimana gerobk, Pak?" kejarku.

"Dasar orang melarat! Nah, kutambahi seratus ribu. Jangan cerewet!" Mobil itu langsung melaju kencang.

Apa yang kutakutkan terjadilah. Meski seluruh uang ganti rugi dari lelaki yang menabrakku itu kuserahkan kepada Juragan Latif, tetap saja si juragan memberikanku konsekuensi setimpal. Dia memecatku dengan embel-embel tak becus bekerja. Itulah yang membuatku beralih profesi menjadi pembecak, dengan konsekuensi lebih menyakitkan; dapurku menjadi lebih jarang mengebul!

Penyebabnya adalah lelaki itu. Biarlah dia pingsan sampai mampus. Rasakan sendiri. Celaka dibayar celaka. Untuk apa pula aku menyelamatkannya? Rasa sakit itu masih terus terasa menyilet-nyilet hati ini.

"Ayo, Pak, kita angkat badan Tuan. Saya tak kuat." Si pembantu meringis.

Hatiku bimbang. Bila si brengsek gendut itu mampus, tentu yang kena sasaran adalah si pembantu. Dia bisa dipecat. Atau lebih parah lagi dilaporkan ke polisi karena dianggap sengaja melalaikan tugas. Ah, tak bisa ini! Lagipula, tak baik aku bersikap kurangajar. Biarkan saja lelaki itu telah berhasil membuatku celaka. Tapi, mestikah aku berbuat yang sama?

Sisi baikku menang. Si gendut langsung kami bawa ke rumah sakit. Selama di dalam perjalanan, jujur saja hatiku tetap ngedumel. Namun kusabar-sabarkan saja. Tuhan Maha Tahu atas setiap gerak-gerik umat-Nya. Biarlah tuba kubalas dengan air susu jika kenyataannya surga sebagai hasil akhir.

* * *

Kejadian itu telah kulupakan sama sekali. Meskipun si pembantu yang akhirnya kutahu bernama Piyem, menghadiahi sehelai baju atas bantuanku yang tiada terhingga, pun tak membuat kenangan itu lengket di otakku. Prinsipku dari dulu adalah jangan pernah mengingat-ingat suatu kebaikan yang kita berikan kepada orang lain. Akan tetapi ingatlah selalu kejahatan-kejahatan yang telah kita lakukan, sampai kelak bila bertemu, kita  bisa meminta maaf kepada orang yang terjahati itu.

"Bapak tak membecak?" tegur istriku. Aku menoleh kepadanya sambil mengeluh. Tubuhku terasa remuk-redam. Kemarin subuh aku terlalu bernafsu mencari uang. Ketika seorang pedagang sayur meminta jasa becakku membawa sayurannya yang berat bertimbun, aku pun segera menyanggupi. Padahal selain sayuran itu berat, jarak tempuh ke tempat tujuan lumayan jauh. Itulah yang membuat tubuhku ringsek dan harus dikerik istri. Hari ini terpaksa libur dulu kalau aku tak ingin sakit beneran. Mungkin besok lusa kondisiku masih tetap sama.

Ah, membecak memang lebih susah daripada berjualan bakso. Aku berharap Juragan Latif sudah melupakan kejadian beberapa minggu lalu itu, kemudian menerimaku bekerja kembali sebagai pedagang bakso.

"Kalau begini terus, nasib kita bagaimana, Pak? Seminggu lagi Pinto harus selesai mengurusi biaya adminsitrasi. Kalau tidak, dia tak bisa melanjutkan sekolah ke SMA."

Pinto anak kamu satu-satunya. Dia cerdas dan hampir setiap tahun memperoleh beasiswa. Tapi kali ini sepertinya aku tak bisa lagi menyekolahkannya. Biarlah dia berhenti dan membecak. Biaya adminsitrasi pendaftaran saja lumayan mahal. Belum lagi seragam sekolahnya. Belum lagi pungutan biaya urusan gono-gini. Buku sekolah... Ah, kuseka keringat yang meleleri wajah.

"Sudahlah! Dia tak usah melanjutkan sekolah lagi. Lupakan saja. Biarlah dia seperti bapak menjadi pembecak."

"Tetap miskin?" kejar istriku.

"Mudah-mudahan tidak!" Kuseruput kopi yang berasa hambar. Tatap kuedarkan ke halaman. Saat itulah aku seperti bermimpi ketika melihat sebuah mobil berhenti persis di depan rumahku. Lebih merasa bermimpi lagi manakala Pinto keluar dari dalam dan digandeng seorang perempuan yang barangkali seumuranku. Seorang lelaki gendut mengekor di belakangnya. Hai, ada gerangan apa ini?

Lelaki gendut itu adalah lelaki yang pernah menyenggol gerobak baksoku. Lelaki gendut itu adalah lelaki yang kubawa ke rumah sakit sehingga nyawanya bisa tertolong. Nah sekarang, apa tujuannya ke rumahku? Lalu siapa perempuan yang sangat lengket dengan Pinto itu? Kebetulan pula pak rt datang melengkapi. Cukuplah membuatku sinting, dan kepala pening tujuh keliling.

Lelaki gendut itu malu-malu menatapku. Dia menyalamiku, dan meminta maaf  atas kejadian senggol-menyenggol gerobak dengan berbisik. Mungkin dia berusaha menyembunyikan perbuatannya yang tak terpuji dari orang lain.

"Ini kebetulan yang sangat istimewa!" kata pak rt setelah istriku menghidangkan beberapa gelas air putih dan sepinggan ubi rebus di atas meja. "Setelah penungguan yang lama, akhirnya Tuhan mempertemukan hamba-Nya." Pak rt seperti berbelit-belit.

"Kenapa rupanya, Pak?" Istriku bertanya. Perempuan yang tetap lengket di sebelah Pinto tersenyum  bijak.

"Mohon maaf, Pak Parewa, Bu!" Pak rt menatap aku dan istriku silih-berganti. "Bapak dan ibu masih ingat kan banjir bandang yang menimpa daerah kita hampir enambelas tahun lalu?"

"Iya!" Aku semakin bingung.

"Nah, ibu inilah yang kucoba selamatkan dari arus air yang deras kala itu. Sayang dia terbawa arus, sehingga aku hanya bisa menyelamatkan bayi yang digendongannya. Pak Parewa pasti sudah memahami ceritaku, kan?" jelas pak rt.

Aku menggumam cemas. Cerita itu memang sudah pernah dikatakan pak rt kepadaku enambelas tahun lalu. Bagaimana saat itu dia  berhasil menyelamatkan seorang bayi dari arus banjir bah, namun bukan beserta ibunya. Bayi itulah yang dititipkan sementara kepadaku dan istri yang hampir lima tahun tak memiliki anak. 

Penitipan itu hanyalah sementara. Tapi waktu yang bergulir cepat tanpa kehadiran orangtua si bayi, malah menumbuhkan kasih sayang yang amat sangat di hatiku dan istri. Bahkan setelah berbilang tahun kemudian, kami sama-sama berharap agar orangtua si bayi telah meninggal. Namun sekarang, apa? Tiba-tiba muncul kebencian yang mendalam di dalam hatiku kepada lelaki gendut itu, juga istrinya.

"Tapi bisa saja pak rt lupa wajah ibu Pinto...," geramku.

"Tak mungkin lupa, Pak Parewa. Aku tetap ingat ibu ini memiliki tahi lalat besar di cuping hidung sebelah kiri." Pak rt tersenyum. Laki-perempuan itu tersenyum. Pinto terdiam, lalu berbicara kepadaku dan istri tanpa dapat kupahami arah pembicaraannya. Semuanya menjadi sangat menyakitkan. Menyakitkan! Mampukah aku bersikap lebih sabar lagi?

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun