Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Titipan

13 Maret 2019   07:37 Diperbarui: 13 Maret 2019   07:52 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah melewati ruang tamu, barulah aku melihat sesosok lelaki gemuk yang terbaring di lantai berkarpet tebal. Dia benar-benar pingsan seperti yang diceritakan pembantu itu. Tapi, Tuhan, tiba-tiba hatiku seperti dicubit. Amat sakit!

Aku mengenal lelaki yang pingsan itu. Ingatankan menjalar ke kejadian dua minggu lalu. Saat itu aku masih berdagang bakso dan sedang mendorong gerobak bakso Juragan Latif di dekat pasar.

Mendadak mobil jeep melaju kencang dari arah berlawanan. Mobil itu menyenggol gerobak bakso hingga terguling. Seisi gerobak tumpah ke parit. Kaca gerobak pecah-memecah. Dindingnya penyok-penyok, serta sebagian rompal.

Hatiku sakit. Orang yang menyetir mobil itu sepertinya tak perduli. Dari jendela mobil diangsurkannya uang limapuluh ribu rupiah. "Untuk ganti rugi!" ketusnya.

"Tapi bagaimana gerobk, Pak?" kejarku.

"Dasar orang melarat! Nah, kutambahi seratus ribu. Jangan cerewet!" Mobil itu langsung melaju kencang.

Apa yang kutakutkan terjadilah. Meski seluruh uang ganti rugi dari lelaki yang menabrakku itu kuserahkan kepada Juragan Latif, tetap saja si juragan memberikanku konsekuensi setimpal. Dia memecatku dengan embel-embel tak becus bekerja. Itulah yang membuatku beralih profesi menjadi pembecak, dengan konsekuensi lebih menyakitkan; dapurku menjadi lebih jarang mengebul!

Penyebabnya adalah lelaki itu. Biarlah dia pingsan sampai mampus. Rasakan sendiri. Celaka dibayar celaka. Untuk apa pula aku menyelamatkannya? Rasa sakit itu masih terus terasa menyilet-nyilet hati ini.

"Ayo, Pak, kita angkat badan Tuan. Saya tak kuat." Si pembantu meringis.

Hatiku bimbang. Bila si brengsek gendut itu mampus, tentu yang kena sasaran adalah si pembantu. Dia bisa dipecat. Atau lebih parah lagi dilaporkan ke polisi karena dianggap sengaja melalaikan tugas. Ah, tak bisa ini! Lagipula, tak baik aku bersikap kurangajar. Biarkan saja lelaki itu telah berhasil membuatku celaka. Tapi, mestikah aku berbuat yang sama?

Sisi baikku menang. Si gendut langsung kami bawa ke rumah sakit. Selama di dalam perjalanan, jujur saja hatiku tetap ngedumel. Namun kusabar-sabarkan saja. Tuhan Maha Tahu atas setiap gerak-gerik umat-Nya. Biarlah tuba kubalas dengan air susu jika kenyataannya surga sebagai hasil akhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun