Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Titipan

13 Maret 2019   07:37 Diperbarui: 13 Maret 2019   07:52 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini kebetulan yang sangat istimewa!" kata pak rt setelah istriku menghidangkan beberapa gelas air putih dan sepinggan ubi rebus di atas meja. "Setelah penungguan yang lama, akhirnya Tuhan mempertemukan hamba-Nya." Pak rt seperti berbelit-belit.

"Kenapa rupanya, Pak?" Istriku bertanya. Perempuan yang tetap lengket di sebelah Pinto tersenyum  bijak.

"Mohon maaf, Pak Parewa, Bu!" Pak rt menatap aku dan istriku silih-berganti. "Bapak dan ibu masih ingat kan banjir bandang yang menimpa daerah kita hampir enambelas tahun lalu?"

"Iya!" Aku semakin bingung.

"Nah, ibu inilah yang kucoba selamatkan dari arus air yang deras kala itu. Sayang dia terbawa arus, sehingga aku hanya bisa menyelamatkan bayi yang digendongannya. Pak Parewa pasti sudah memahami ceritaku, kan?" jelas pak rt.

Aku menggumam cemas. Cerita itu memang sudah pernah dikatakan pak rt kepadaku enambelas tahun lalu. Bagaimana saat itu dia  berhasil menyelamatkan seorang bayi dari arus banjir bah, namun bukan beserta ibunya. Bayi itulah yang dititipkan sementara kepadaku dan istri yang hampir lima tahun tak memiliki anak. 

Penitipan itu hanyalah sementara. Tapi waktu yang bergulir cepat tanpa kehadiran orangtua si bayi, malah menumbuhkan kasih sayang yang amat sangat di hatiku dan istri. Bahkan setelah berbilang tahun kemudian, kami sama-sama berharap agar orangtua si bayi telah meninggal. Namun sekarang, apa? Tiba-tiba muncul kebencian yang mendalam di dalam hatiku kepada lelaki gendut itu, juga istrinya.

"Tapi bisa saja pak rt lupa wajah ibu Pinto...," geramku.

"Tak mungkin lupa, Pak Parewa. Aku tetap ingat ibu ini memiliki tahi lalat besar di cuping hidung sebelah kiri." Pak rt tersenyum. Laki-perempuan itu tersenyum. Pinto terdiam, lalu berbicara kepadaku dan istri tanpa dapat kupahami arah pembicaraannya. Semuanya menjadi sangat menyakitkan. Menyakitkan! Mampukah aku bersikap lebih sabar lagi?

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun