Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Titipan

13 Maret 2019   07:37 Diperbarui: 13 Maret 2019   07:52 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* * *

Kejadian itu telah kulupakan sama sekali. Meskipun si pembantu yang akhirnya kutahu bernama Piyem, menghadiahi sehelai baju atas bantuanku yang tiada terhingga, pun tak membuat kenangan itu lengket di otakku. Prinsipku dari dulu adalah jangan pernah mengingat-ingat suatu kebaikan yang kita berikan kepada orang lain. Akan tetapi ingatlah selalu kejahatan-kejahatan yang telah kita lakukan, sampai kelak bila bertemu, kita  bisa meminta maaf kepada orang yang terjahati itu.

"Bapak tak membecak?" tegur istriku. Aku menoleh kepadanya sambil mengeluh. Tubuhku terasa remuk-redam. Kemarin subuh aku terlalu bernafsu mencari uang. Ketika seorang pedagang sayur meminta jasa becakku membawa sayurannya yang berat bertimbun, aku pun segera menyanggupi. Padahal selain sayuran itu berat, jarak tempuh ke tempat tujuan lumayan jauh. Itulah yang membuat tubuhku ringsek dan harus dikerik istri. Hari ini terpaksa libur dulu kalau aku tak ingin sakit beneran. Mungkin besok lusa kondisiku masih tetap sama.

Ah, membecak memang lebih susah daripada berjualan bakso. Aku berharap Juragan Latif sudah melupakan kejadian beberapa minggu lalu itu, kemudian menerimaku bekerja kembali sebagai pedagang bakso.

"Kalau begini terus, nasib kita bagaimana, Pak? Seminggu lagi Pinto harus selesai mengurusi biaya adminsitrasi. Kalau tidak, dia tak bisa melanjutkan sekolah ke SMA."

Pinto anak kamu satu-satunya. Dia cerdas dan hampir setiap tahun memperoleh beasiswa. Tapi kali ini sepertinya aku tak bisa lagi menyekolahkannya. Biarlah dia berhenti dan membecak. Biaya adminsitrasi pendaftaran saja lumayan mahal. Belum lagi seragam sekolahnya. Belum lagi pungutan biaya urusan gono-gini. Buku sekolah... Ah, kuseka keringat yang meleleri wajah.

"Sudahlah! Dia tak usah melanjutkan sekolah lagi. Lupakan saja. Biarlah dia seperti bapak menjadi pembecak."

"Tetap miskin?" kejar istriku.

"Mudah-mudahan tidak!" Kuseruput kopi yang berasa hambar. Tatap kuedarkan ke halaman. Saat itulah aku seperti bermimpi ketika melihat sebuah mobil berhenti persis di depan rumahku. Lebih merasa bermimpi lagi manakala Pinto keluar dari dalam dan digandeng seorang perempuan yang barangkali seumuranku. Seorang lelaki gendut mengekor di belakangnya. Hai, ada gerangan apa ini?

Lelaki gendut itu adalah lelaki yang pernah menyenggol gerobak baksoku. Lelaki gendut itu adalah lelaki yang kubawa ke rumah sakit sehingga nyawanya bisa tertolong. Nah sekarang, apa tujuannya ke rumahku? Lalu siapa perempuan yang sangat lengket dengan Pinto itu? Kebetulan pula pak rt datang melengkapi. Cukuplah membuatku sinting, dan kepala pening tujuh keliling.

Lelaki gendut itu malu-malu menatapku. Dia menyalamiku, dan meminta maaf  atas kejadian senggol-menyenggol gerobak dengan berbisik. Mungkin dia berusaha menyembunyikan perbuatannya yang tak terpuji dari orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun