Saat makanan yang berjejal di meja mengundang untuk dipestaporakan, keluarlah tawaran dari mulut Warsito, "Sebenarnya aku ke mari karena ingat Bapak. Aku ingat kebaikan bapak, bukan hanya perkara uang seratus ribu rupiah itu. Tapi pada segala-galanya setelah bapak sangat akrab denganku sampai berbilang bulan.Â
Jadi, niatku, agar bapak sudi pindah ke kampungku di Baturaja. Rumah dan tanah di sana tak ada yang menjaganya. Bapakku telah meninggal persis saat aku mendapat berita bahwa dia sakit keras lima tahunan lalu. Saudara-saudaraku bekerja semua di Jawa. Ibu sekarang ikut aku di Bogor." Dia menghela napas.
"Jadi, aku berharap bapak dapat menjaga rumah kami, kemudian mengelola tanah kami di sana. Terserah mau ditanami apa. Tak luas sih, hanya sekitar satu setengah hektar. Bagaimana, Pak?"
Aku terpana. Hatiku berbunga-bunga. Seolah puluhan malaikat mengelilingiku sambil bertakbir, tasbih dan tahmid. Aku sungguh tak bisa menjawab. Sama sekali tak bisa berkata-kata.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H