Tiba di parkiran becakku, barulah kusadari bencana telah menimpa. Celanaku yang terjejal di bawah jok, tak lagi di posisi semula. Aku segera mengambil, kemudian merogoh bagian kantongnya. Ya, Allah, ya, Tuhan. Mataku membelalak. Tubuhku lunglai.Â
Lenyap sudah uang dua puluh ribu rupiah pemberian perempuan bertubuh tong tadi. Aku merasa semua ini salahku. Pertama, aku telah mengatai perempuan itu dalam hati serupa tong, dan tak menyadari bahwa  apa yang didapat oleh tubuhnya itu adalah mutlak pemberian Tuhan. Jadi, Tuhan marah, dan mencabut rejeki dua puluh ribuan itu.Â
Kedua, aku telah salah menganggap bahwa Tuhan-lah yang menjaga uangku di kantong celana di bawah jok becak itu. Padahal bukan begitu syariatnya. Aku mengingat petuah guru mengajiku, kira-kira begini, "Berserah diri kepada Allah atas harta benda yang kita miliki adalah dengan tidak membiarkan harta benda itu kita sepelekan begitu saja. Kalau kau memarkirkan motor, kuncilah stangnya dengan benar. Kalau perlu tambahkan kunci pengaman atau gembok. Barulah berserah kepada Allah."
Aku hanya sanggup terduduk lesu di trotoar. Hilang sudah semangatku. Orang-orang yang berlalulalang seperti menatap iba. Bahkan ada juga yang bagaikan menatap sinis dan menghina. Hingga ketika kegundahanku mencapai titik nadir, sebuah mobil jeep berwarna hitam mulus, berhenti sekitar satu meter saja dari depan hidungku.
Aku terjengkang. Aku ingin memaki-maki si sopir yang telah menambah nasib sial. Namun saat aku berdiri dan hendak menembakinya dengan kata-kata, tiba-tiba seraut wajah segar muncul di jendela mobil. Dia seorang lelaki yang buru-buru membuka pintu mobil. Buru-buru menubrukku, sehingga dia kupikir seorang penjambret. Tapi pelukannya yang hangat, diikuti suaranya yang tersendat-sendat, membuat persendianku menjadi lemas.Â
"Bapak lupa kepadaku?" Lelaki itu melepaskan pelukannya. Aku mengingat seraut wajah yang pernah mengisi hari-hariku. Tapi kutepiskan saja. Tak mungkin dia adalah seseorang yang akrab denganku di masa lampau. Tapi terpaksa juga mulutku menjawab dengan bergetar;
"Kau, kau Warsito, ya? Nak Warsito?" Suaraku pasti terdengar sengau.
"Iya, Pak! Ingatan bapak masih sangat jelas." Dia menarikku ke dalam mobilnya. Beberapa teman pembecak melongo. Aku menitipkan becakku kepada mereka, karena Warsito ingin mengajakku berjalan-jalan keliling Palembang sambil berburu makanan yang dirindukannya.
Dia mengawali pembicaraan tentang uang seratus ribu rupiah itu. Kujawab, lupakanlah. Itu sudah sekian lama berlalu. Lagipula aku sudah mengikhlaskannya. Kemudian dia meminta maaf  karena dirinya menghilang tanpa kabar seperti orang yang tak bertanggungjawab. Aku menjawab, tak apa-apa.Â
Karena tak ingin mengungkit-ungkit kenangan lama, aku mengalihkan pembicaraan tentang kehidupannya sekarang ini. Apakah dia masih melajang, atau sudah berkeluarga. Apakah dia tinggal di kota ini, atau di daerah mana. Aku yakin dia sudah menjadi orang yang sukses.
Warsito mengaku sudah berkeluarga, tapi belum memiliki anak. Dia tinggal di kota Bogor, dan bekerja sebagai dokter umum. Saat aku ingin bertanya lebih lanjut, dia memarkirkan mobil di depan restoran mewah, yang bermimpi memasukinya saja aku tak pernah, apalagi sampai menyantap makanannya.