Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seratus Ribu Rupiah

11 Maret 2019   10:46 Diperbarui: 11 Maret 2019   11:35 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir-hampir aku melupakan Warsito dan uang pemberianku kepadanya yang seratus ribu rupiah itu. Aku menganggapnya masa lalu. Tak perlu diungkit-ungkit lagi. Aku ikhlas. Saat itu Warsito amat sangat membutuhkannya. Dia akan pulang kampung menjenguk ayahnya yang sakit keras. Kemudian, hingga sekarang dia tak pulang lagi ke kota ini. Lalu apa masalahnya jika dia pulang atau tidak? 

"Bapak ini enak saja. Kita orang sengsara. Berapa sih uang yang terkumpul dari menarik becak?" Mata Maisaroh, istriku hampir melompat dari cangkangnya. Dia inilah yang selalu mengungkit-ungkit tentang uang seratus ribu rupiah itu, ketika perekonomian kami paceklik.

"Apalah arti seratus ribu dibandingkan kebutuhan yang amat sangat penting bagi Warsito," kilahku. Buru-buru kucuci tangan setelah selesai mencuci becakku. Setelah itu kuhirup kopi yang masih mengebul. Panas seperti ucapan Maisaroh yang membuat telingaku berdenging.

"Apalah arti uang seratus ribu, Pak? Tolong bapak pikirkan, kalau tabungan kita yang sedikit itu masih ada, hari ini Bapak tak perlu meminum kopi pahit. Aku bisa membayar hutang beras di kedai sampah Wak Jumhur, meski tak sampai melunasinya. Itulah!  Bapak selalu dan terlalu baik kepada orang. Padahal orang tak pernah berniat baik kepada Bapak."

Dia juga mengingatkanku kepada Ruhul. Lelaki bujangan yang usianya hampir sepuluh tahun di bawahku itu, pernah kutolong ketika akan dipalak anak-anak Gang Sawo. Kuingat jelas Ruhul baru datang ke kota ini demi mengais rejeki setelah dia tamat SMA di negeri seberang; Jawa Barat. Setelah mengatakan bahwa dia adalah kemenakanku, pemalak itu mengurungkan niat jahat mereka. Mereka segan kepadaku, karena sekali waktu aku pernah memukul bocor bibir preman wahid Pasar Sawo. 

Tapi memang Ruhul membalas susu yang kuberikan dengan tuba. Empat tahun kemudian, saat ada razia becak di jalan protokol kota Palembang, Ruhul yang sudah menjadi polisi pamong raja, ikut menggaruk becakku. Dia bersama rekan-rekannya menjebloskan "napas keluargaku" itu ke dalam truk bak kayu.

Aku sempat memohon dengan tatapan sedih. Tapi Ruhul membuang wajah. Dia segera menghilang di rerimbun orang. Tapi aku yakin, berat baginya membelaku. Membelaku---misalnya dengan tak merazia becakku---sama saja dia menggulingkan periuk nasinya sendiri. 

Dan sekarang ocehan-ocehan tentang Warsito, setelah hampir lima tahun terlampaui, masih diputar kembali oleh Maisaroh. Terbuat dari apakah hati istriku ini? Andaikan dulu aku tak memberikan uang seratus ribu rupiah itu kepada Warsito, apakah uang tersebut masih utuh sampai sekarang? 

Ah, ada-ada saja! Istriku sedang panas saja hatinya. Maka kutinggalkan dia dengan pikiran berhalimun. Aku mendayung becakku membelah udara petang Palembang yang dingin. Secubit sisa pempek lenjer yang kukantongi, akhirnya bisa sedikit mengganjal lapar.

Seorang perempuan bertubuh tong, akhirnya membuka rejekiku senja ini. Dia penumpang berwajah manis. Matanya terang. Harapku dia royal seperti tubuhnya yang melar. Aku paling tak enak hati ketika bersusah-payah membawa penumpang super gede seperti dia, harus menerima kekecewaan, karena dia medit bin kedekut. Tapi ya, inilah namanya kehidupan. Inilah kondisi yang harus kuhadapi setiap hari sebagai rakyat kelas bawah. Rakyat yang hanya dijadikan sandal jepit bagi orang-orang kaya.

Benar saja, saat tubuh tong itu duduk di jok becak, langsung ngek napasku. Urat-urat di lenganku yang ringkih bertonjolan. Seraya mengawali dengan ucapan basmallah, akhirnya perlahan roda becak berjalan kriat-kriot. Perempuan itu sibuk dengan ponselnya, kemudian susah-payah menoleh ke arahku sambil mengatakan nama jalan, tujuannya.

Kebetulan dia banyak omong. Ramah maksudku. Jadi, mengayuh becak menjadi nikmat. Aku bersiul-siul sambil sesekali menjawab pertanyaan perempuan itu. Dia menanyakan berapa orang anakku, kujawab seorang. Dia menanyakan berapa istriku, kujawab juga seorang, itu pun tak habis dimakan berbilang tahun. 

Dia tertawa. Bahunya yang gempal berguncang-guncang. Dia bertanya lagi berapa lama aku membecak. Kujawab hampir separuh usia perkawinanku dengan istriku. Dia bertanya lagi berapa usia perkawinan kami. Kujawab hampir sepuluh tahun.

Ketika dia turun, ongkos yang diberikannya kepadaku seramah dia membincangiku. Hampir saja aku mencari kembalian di warung pinggir jalan, kalau saja dia tak mencegahku. Katanya biarlah untukku saja. Sebagai upah atas obrolan segar barusan. Oh, Tuhan. Rejeki tak ke mana. Aku menggumpal uang dua puluh ribuan itu sambil menciuminya. Seorang pembecak lain menggerutu dan menyebutku gila. Aku hanya tertawa. 

Bayang-bayang Warsito yang diciptakan Maisaroh di benakku, mengusik lagi. Memang apa yang diperbuat lelaki itu, kalau dipikir-pikir kurang pantas. Dia mengemis-ngemis kepadaku demi uang seratus ribu rupiah. Bahkan katanya, sepulang dari kampung menjenguk bapaknya yang sakit keras itu, dia akan mengembalikan uang tersebut utuh. Kukatakan bahwa itu cuma-cuma. 

Tak usah dipikirkan. Nyatanya dia benar-benar hilang ditelan bumi. Kabar yang kudapat dari pemilik kamar tempatnya indekos, si Warsito masih menunggak satu bulan. Pemilik kamar indekos itu kesal sekali.  Dia berpikir Warsito masih akan kembali lagi ke indekosannya. Kiranya tidak. 

Warsito hanya menyisakan sebuah celana dalam koyak di bawah bantalnya yang berbau apek. Oya, kala itu aku kasihan. Kubayari separuh tunggakan Warsito. Ini kulakukan diam-diam tanpa sepengetahuan Maisaroh. 

Aku memarkirkan becak di ujung Jalan Ahmad Yani yang berbatasan dengan jalan protokol kota Palembang. Aku tak ingin digaruk polisi pamong praja karena berani menerobos di jalan itu. Meski kondisinya lengang sebab mereka yang berseragam itu sedang libur karena hari ini Minggu. Meski penumpang sanggup membayar lebih untuk tiap kilometernya. Aku tak ingin mencari penyakit dan tak ingin disakiti. Cukup sudah lebam-lebam digebuk kerasnya kehidupan.

Kutatap langit petang yang beranjak gelap. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Sayup terdengar suara mengaji dari menara masjid berjarak sekitar seratus meter dariku. Segera kukenakan peci, dan mengganti bajuku dengan baju yang lebih bersih dari bawah jok becak. Mengambil kain sarung, dan mengenakannya. Celana kulepaskan, kemudian menjejalkannya di bawah jok. 

Sempat seorang rekan sesama pembecak berseloroh, "Parno, ah!" Aku tertawa. Kutanya apakah dia tak shalat maghrib bersamaku di masjid. Dia menggeleng. Dia beralasan bahwa pakaiannya kotor. Tubuhnya bau, belum mandi. Ada-ada saja alasan orang demi menghindari perundang-undangan Tuhan. 

Padahal kalau dia dan orang-orang seperti dia melakukan seperti apa yang selalu kuperbuat, pasti hasilnya berbeda. Orang-orang tak perlu berkeliaran seperti setan di jalanan, sementara waktu shalat sudah tiba. Masjid akan penuh jejal, dan Tuhan ada di mana-mana menjawab setiap seruan hamba-Nya. Kuusap wajah. Kulangkahkan kaki menuju masjid.

Terasa enteng juga pikiran usai shalat maghrib. Malam menjadi sangat berwarna. Semangatku berlipat-lipat melebihi petang tadi. Mudah-mudahan rejekiku berlipat juga. Aku ingin membungkam mulut istriku yang suka mengomel dan mengungkit-ungkit masa lalu berkenaan dengan uang. Ya, ya. Walaupun sebenarnya omelannya itu atas partisipasiku juga, yakni tak terlalu giat mencari nafkah.

Tiba di parkiran becakku, barulah kusadari bencana telah menimpa. Celanaku yang terjejal di bawah jok, tak lagi di posisi semula. Aku segera mengambil, kemudian merogoh bagian kantongnya. Ya, Allah, ya, Tuhan. Mataku membelalak. Tubuhku lunglai. 

Lenyap sudah uang dua puluh ribu rupiah pemberian perempuan bertubuh tong tadi. Aku merasa semua ini salahku. Pertama, aku telah mengatai perempuan itu dalam hati serupa tong, dan tak menyadari bahwa  apa yang didapat oleh tubuhnya itu adalah mutlak pemberian Tuhan. Jadi, Tuhan marah, dan mencabut rejeki dua puluh ribuan itu. 

Kedua, aku telah salah menganggap bahwa Tuhan-lah yang menjaga uangku di kantong celana di bawah jok becak itu. Padahal bukan begitu syariatnya. Aku mengingat petuah guru mengajiku, kira-kira begini, "Berserah diri kepada Allah atas harta benda yang kita miliki adalah dengan tidak membiarkan harta benda itu kita sepelekan begitu saja. Kalau kau memarkirkan motor, kuncilah stangnya dengan benar. Kalau perlu tambahkan kunci pengaman atau gembok. Barulah berserah kepada Allah."

Aku hanya sanggup terduduk lesu di trotoar. Hilang sudah semangatku. Orang-orang yang berlalulalang seperti menatap iba. Bahkan ada juga yang bagaikan menatap sinis dan menghina. Hingga ketika kegundahanku mencapai titik nadir, sebuah mobil jeep berwarna hitam mulus, berhenti sekitar satu meter saja dari depan hidungku.

Aku terjengkang. Aku ingin memaki-maki si sopir yang telah menambah nasib sial. Namun saat aku berdiri dan hendak menembakinya dengan kata-kata, tiba-tiba seraut wajah segar muncul di jendela mobil. Dia seorang lelaki yang buru-buru membuka pintu mobil. Buru-buru menubrukku, sehingga dia kupikir seorang penjambret. Tapi pelukannya yang hangat, diikuti suaranya yang tersendat-sendat, membuat persendianku menjadi lemas. 

"Bapak lupa kepadaku?" Lelaki itu melepaskan pelukannya. Aku mengingat seraut wajah yang pernah mengisi hari-hariku. Tapi kutepiskan saja. Tak mungkin dia adalah seseorang yang akrab denganku di masa lampau. Tapi terpaksa juga mulutku menjawab dengan bergetar;

"Kau, kau Warsito, ya? Nak Warsito?" Suaraku pasti terdengar sengau.

"Iya, Pak! Ingatan bapak masih sangat jelas." Dia menarikku ke dalam mobilnya. Beberapa teman pembecak melongo. Aku menitipkan becakku kepada mereka, karena Warsito ingin mengajakku berjalan-jalan keliling Palembang sambil berburu makanan yang dirindukannya.

Dia mengawali pembicaraan tentang uang seratus ribu rupiah itu. Kujawab, lupakanlah. Itu sudah sekian lama berlalu. Lagipula aku sudah mengikhlaskannya. Kemudian dia meminta maaf  karena dirinya menghilang tanpa kabar seperti orang yang tak bertanggungjawab. Aku menjawab, tak apa-apa. 

Karena tak ingin mengungkit-ungkit kenangan lama, aku mengalihkan pembicaraan tentang kehidupannya sekarang ini. Apakah dia masih melajang, atau sudah berkeluarga. Apakah dia tinggal di kota ini, atau di daerah mana. Aku yakin dia sudah menjadi orang yang sukses.

Warsito mengaku sudah berkeluarga, tapi belum memiliki anak. Dia tinggal di kota Bogor, dan bekerja sebagai dokter umum. Saat aku ingin bertanya lebih lanjut, dia memarkirkan mobil di depan restoran mewah, yang bermimpi memasukinya saja aku tak pernah, apalagi sampai menyantap makanannya.

Saat makanan yang berjejal di meja mengundang untuk dipestaporakan, keluarlah tawaran dari mulut Warsito, "Sebenarnya aku ke mari karena ingat Bapak. Aku ingat kebaikan bapak, bukan hanya perkara uang seratus ribu rupiah itu. Tapi pada segala-galanya setelah bapak sangat akrab denganku sampai berbilang bulan. 

Jadi, niatku, agar bapak sudi pindah ke kampungku di Baturaja. Rumah dan tanah di sana tak ada yang menjaganya. Bapakku telah meninggal persis saat aku mendapat berita bahwa dia sakit keras lima tahunan lalu. Saudara-saudaraku bekerja semua di Jawa. Ibu sekarang ikut aku di Bogor." Dia menghela napas.

"Jadi, aku berharap bapak dapat menjaga rumah kami, kemudian mengelola tanah kami di sana. Terserah mau ditanami apa. Tak luas sih, hanya sekitar satu setengah hektar. Bagaimana, Pak?"

Aku terpana. Hatiku berbunga-bunga. Seolah puluhan malaikat mengelilingiku sambil bertakbir, tasbih dan tahmid. Aku sungguh tak bisa menjawab. Sama sekali tak bisa berkata-kata.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun