Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lok Baintan

8 Maret 2019   09:49 Diperbarui: 8 Maret 2019   10:39 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sini angin kembali mengirimkan cerita dari bau kopi dan semburat matahari di permukaan sungai. Perahu-perahu terangguk mengikuti gelombang kecil, menawarkan diri disinggahi. Di sini pula kali pertama aku bertemu Brom, lelaki jangkung berwajah tirus nan cemerlang. 

Senyumnya melumpuhkanku. Kami bersama menyantap pagi di sebuah perahu, sambil sesekali dia berbicara seperti penyair membaca puisi.

"Kau senang berpuisi? Atau, kau memang penyair?" 

Dia tertawa. "Apa kalau berpuisi itu harus menjadi penyair? Siapa saja boleh berpuisi, tak perlu menjadi penyair. Puisi adalah lagu cinta yang bisa muncul seperti cendawan di musim hujan, saat kau benar-benar mencintai seseorang."

"Berarti kau sedang jatuh cinta?"

Dia terkekeh. "Jangan terlalu besar kepala menganggapku sedang jatuh cinta kepadamu."

Aku yang kemudian balas tertawa. "Lho, siapa yang besar kepala? Kau sendiri yang besar kepala. Aku tak menganggapmu sedang jatuh cinta kepadaku. Kau bebas mau jatuh cinta kepada siapa saja, tak mesti aku."

Di Lok Baintan, kembali aku mengulang kenangan bersama Brom. Perjumpaan kami kali pertama serupa menyeruput kopi yang rasa nikmatnya tiada terkira. Terlalu dini aku dan dia tiba-tiba saling akrab. Bahkan dalam hatiku, benih-benih cinta mulai bertunas. 

Tak ada yang salah toh! Cinta bisa datang pada kejap pertama. Cinta juga bisa muncul setelah kekerabatan yang lama serupa karat menempel pada besi.

Brom berasal dari Suku Bukit daerah Bangkalan Dayak. Dia lama merantau di Malaysia, Singapura dan beberapa negara Asia Tenggara. Dari kulitnya yang merah gelap, sudah dapat ditebak dia seorang pelaut. Dan tebakanku memang sangat tepat. 

Brom seorang kelasi di sebuah kapal barang. Pertemuan kami yang tanpa sengaja itu, adalah saat liburannya setelah dua tahun tak pulang ke Kalimantan Selatan. Brom sangat suka Lok Baintan. Menikmati pagi di Lok Baintan, sebelum matahari menyengat dan puluhan perahu bubar, membiarkan sungai menjelma sepi. 

Selain aku suka kepada Brom, bos redaksi tiba-tiba melemparkan pujian. Aku seorang wartawati yang meliput cerita tentang pagi di Lok Baintan. Entah kenapa, aku tambahkan cerita tentang sosok Brom. Bos redaksi seakan tercekik. Betapa salah satu foto yang menampakkan sosok Bram, membuatnya setengah gila. 

Hahaha, kuanggap wajar. Di usia menjelang empat puluh, apalagi belum menikah seperti si bos, hal yang wajar membuatnya histeris melihat sosok eksotis itu.

"Kenapa kau tak ajak dia ke Jakarta? Dia bisa menjadi foto model top di majalah kita," sesal si bos seakan merutuk.

"Lho, dia kan ada pekerjaan! Hidupnya di laut, bukan di bawah siraman lampu dan blitz kamera. Ya, kalaupun ada waktunya cuti, dia pasti menghabiskannya di Lok Baintan atau daerah eksotis lain di Kalimantan Selatan. Untuk apa ke Jakarta? Dia sudah bosan melihat kota-kota besar, juga melihat perempuan-perempuannya."

Si bos mungkin tersindir. Sesaat dia melupakan Brom, meski sesekali ketika jeda rutinitas yang berat, masih sempat menanyakan apakah aku masih berkomunikasi dengan Brom.

"Tak pernah lagi setelah pertemuan pertama kami!" dustaku. Padahal betapa sering kami bertelepon. Hingga entah karma dari dusta, saat aku meliput cerita tentang Pulau Komodo, ponselku tercebur laut. Seluruh nomor kontakku hilang, termasuk nomor kontak Brom. Kau tahu, betapa masygul rasanya.

Di pagi ini entah sudah tahun keberapa, aku menyengaja singgah ke mari. Bukan untuk menulis sesuatu, karena aku bukan lagi seorang wartawati. Pekerjaan dengan jibunan rutinitas, membuatku memilih hengkang dan memilih menjadi penulis novel. Ternyata lebih asyik, kendati tak terlalu bombastis penghasilannya seperti saat menjadi wartawati. Yang penting hati puas.

"Isah!" 

Kuseruput kopi dan menoleh ke arah suara itu. Tak ada sesiapa. Mungkin hanya suara angin lalu. Lelaki pendayung sekaligus pemilik warung terapung, juga tak bersuara. Dia tengah bersandar di tiang penyangga atap warung. Sengaja aku memang mengajaknya menelusuri sungai sambil menyeruput kopi dan beberapa panganan. Kesengajaan yang kemudian serupa pupuk yang ditaburkan ke palung imajinasi. 

Lihat saja, meski diselang-selingi menyeruput kopi dan mengicip makanan, tanganku lihai bermain di tuts laptop. Cerita sangat mengalir, tajam dan dalam.

"Isah!"

Kali ini aku terpaku. Mungkinkah ada seseorang yang memanggilku? Atau, adakah sekadar halusinasi? Hanya aku dan pendayung yang ada di perahu. Tak ada yang lain. Pasar terapung Lok Baintan, telah hilang pandang. Mungkin saja mulai berbenah pulang, karena cahaya matahari mulai tajam mengiris permukaan sungai.

"Bapak mendengar sesuatu?"

Pendayung itu menoleh. Setelah tadi tawar-menawar masalah biaya sewa perahunya, tak pernah lagi kami berbincang. Dia sibuk dengan rokok, aku sibuk dengan kopi, panganan dan laptop.

"Mendengar apa?"

"Suara seseorang. Seperti suara Brom!"

"Brom! Siapa itu? Lagi pula.... Ah, sudahlah!" Dia kembali disibukkan rokoknya. Asap rokok mengepul, kemudian lesap diterabas angin.

Matahari semakin menyengat. Keringat mulai terbit di keningku. Pendayung cepat tanggap dan memutar haluan, kembali ke Lok Baintan. Perahu-perahu yang sebelumnya ramai, hanya tinggal dua. Lalu-lalang orang pun tak lagi ramai. 

Pendayung memintaku turun. "Sudah siang! Nanti kulitmu terbakar."

Aku mengeluarkan uang melebihi perjanjian kami. "Terima kasih atas jalan-jalannya. Hmm, lumayan! Lima belas lembar dapat kurampungkan."

"Bayar saja yang kau minum dan makan. Semua sepuluh ribu rupiah."

"Lho, sewa perahunya, bagaimana?"

Dia mendekatiku. Tersenyum ramah. Senyum pertama yang dia lontarkan setelah sedari tadi wajahnya datar tanpa riak. 

Sekelebat dia mencabut lembaran sepuluh ribu dari tanganku. Dia bergegas mengambil dayung, dan menjauh. Perahunya dengan sabar diterima sungai. 

"Pak! Tunggu!" jeritku. Dia tak menoleh. Kumasukkan kembali lembaran uang ke dalam tas, saat seseorang menepuk pundakku.

"Hai, kenapa kau mau naik perahu orang itu? Baru kau yang berani naik perahunya, juga makan-minum di situ." Sesosok perempuan bertubuh gempal, berbibir tebal, berdiri di belakangku. Dia Suk, perempuan yang menjadi pemandaku sampai beberapa hari ke depan.

"Memangnya kenapa?"

"Salahku tak mewanti-wanti dari tadi. Kupikir berapa banyak perahu di Lok Baintan. Mustahil takdirmu menumpang di perahunya. Tapi aku salah. Harusnya juga, aku tadi bersamamu. Kau ngotot pergi sendiri. Mau dibilang apalagi!"

Aku membonceng di motornya. Kami menuju penginapan dengan rasa penasaran yang berkesiur di hati ini. 

Seperti kemarin, setelah mengantarku sampai ke kamar penginapan, Suk akan pergi. Tapi kali ini kutahan langkahnya yang gegas.

"Ada apalagi?"

"Tentang pendayung itu. Ceritakan kepadaku!"

"Pokoknya jangan pernah naik perahu lelaki itu! Kau tahu, dia itu mengidap penyakit Aids!" Dia seakan berbisik. Tubuhku seolah terdesak ke belakang. 

"Yang benar?"

Tanpa kuminta, dia bercerita tentang pendayung itu. Bahwa dulunya dia seorang pelaut yang bertahun di lautan dan menyinggahi beberapa kota di Asia Tenggara. Akan halnya pelaut, teramat sering berhubungan dengan dunia serba bebas. Mungkin itulah yang membuat si pendayung terlena dan bergaul dengan berbagai macam perempuan. Hingga hukuman atasnya menimpa. Dia sakit-sakitan, kurus dan dibuang dari kapal. Dia mencoba peruntungan menjadi pemilik warung terapung. Tapi sas-sus yang kemudian berkembang bahwa dia itu pengidap Aids, membuatnya terasing. Tak ada yang berani mendekati, bahkan naik ke perahunya. Konon lagi menikmati barang jajaannya. 

Darahku berdesir. Ingatanku menjalar kepada lelaki itu. Tapi mungkinkah pendayung itu dia? Mengapa aku tak mengenalnya? Apakah karena penyakit yang telah menyadap daging dari tubuhnya, menyamarkan sosok gagah seorang Brom?

"Siapa nama pendayung itu? Brom, ya?"

"Brom, Bram. Atau, ah, ya! Mungkin  saja Brom!"

Aku terkulai. Sesal mencekikku, kenapa sampai silap kepada wajah pendayung itu.

Pagi-pagi sekali, tanpa menunggu Suk, kembali aku ke Lok Baintan. Berharap bertemu kembali lelaki pendayung itu. Dari ramainya perahu dan beragam tawaran memenuhi telinga ini, hingga sungai lengang, tak kulihat perahu yang lambungnya bertuliskan; Cinta Larat.

Kuputuskan hari ini pulang ke Jakarta. Hatiku alangkah galaunya. Percuma berada di sini kalau galau yang menjerat, juga menjerat tanganku untuk tak mengalir jernih menuliskan imajinasi di layar laptop. Hingga tanpa sengaja aku menabrak dada seseorang saat aku berbalik. Tuhan, dia lelaki itu. Wajahku bersemu merah. Kenapa tiba-tiba kami bisa bertemu. Tuhan benar-benar baik kepadaku.

"Brom! Kau ada di sini!"

"Ya, Tuhan telah mempertemukan kita!" 

Kupeluk dia erat-erat seolah tak ingin lepas lagi. Lupakan tentang cerita Suk. Lupakan pendayung itu. Pendayung itu bukanlah Brom.

* * *

Lelaki itu ditemukan tak bernyawa lagi di perahunya. Mula-mula tak ada orang yang mau mengurusinya. Semua takut tertular Aids. Tapi karena tak ingin seluruh orang yang mengadu nasib di Lok Baintan mendapat laknat dari Tuhan, karena tak mau menjalankan fardu kipayah atas lelaki itu, akhirnya seorang-dua mau mengurusi, sampai memakamkannya di pemakaman umum.

Akan halnya Isah, sekarang sedang duduk di sebuah bangku dan menatap sungai. Dia bebicara entah dengan siapa. Dia sesekali tersenyum. Sesekali tertawa. Mungkin dia sudah gila.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun