Kali ini aku terpaku. Mungkinkah ada seseorang yang memanggilku? Atau, adakah sekadar halusinasi? Hanya aku dan pendayung yang ada di perahu. Tak ada yang lain. Pasar terapung Lok Baintan, telah hilang pandang. Mungkin saja mulai berbenah pulang, karena cahaya matahari mulai tajam mengiris permukaan sungai.
"Bapak mendengar sesuatu?"
Pendayung itu menoleh. Setelah tadi tawar-menawar masalah biaya sewa perahunya, tak pernah lagi kami berbincang. Dia sibuk dengan rokok, aku sibuk dengan kopi, panganan dan laptop.
"Mendengar apa?"
"Suara seseorang. Seperti suara Brom!"
"Brom! Siapa itu? Lagi pula.... Ah, sudahlah!" Dia kembali disibukkan rokoknya. Asap rokok mengepul, kemudian lesap diterabas angin.
Matahari semakin menyengat. Keringat mulai terbit di keningku. Pendayung cepat tanggap dan memutar haluan, kembali ke Lok Baintan. Perahu-perahu yang sebelumnya ramai, hanya tinggal dua. Lalu-lalang orang pun tak lagi ramai.Â
Pendayung memintaku turun. "Sudah siang! Nanti kulitmu terbakar."
Aku mengeluarkan uang melebihi perjanjian kami. "Terima kasih atas jalan-jalannya. Hmm, lumayan! Lima belas lembar dapat kurampungkan."
"Bayar saja yang kau minum dan makan. Semua sepuluh ribu rupiah."
"Lho, sewa perahunya, bagaimana?"