"Yang benar?"
Tanpa kuminta, dia bercerita tentang pendayung itu. Bahwa dulunya dia seorang pelaut yang bertahun di lautan dan menyinggahi beberapa kota di Asia Tenggara. Akan halnya pelaut, teramat sering berhubungan dengan dunia serba bebas. Mungkin itulah yang membuat si pendayung terlena dan bergaul dengan berbagai macam perempuan. Hingga hukuman atasnya menimpa. Dia sakit-sakitan, kurus dan dibuang dari kapal. Dia mencoba peruntungan menjadi pemilik warung terapung. Tapi sas-sus yang kemudian berkembang bahwa dia itu pengidap Aids, membuatnya terasing. Tak ada yang berani mendekati, bahkan naik ke perahunya. Konon lagi menikmati barang jajaannya.Â
Darahku berdesir. Ingatanku menjalar kepada lelaki itu. Tapi mungkinkah pendayung itu dia? Mengapa aku tak mengenalnya? Apakah karena penyakit yang telah menyadap daging dari tubuhnya, menyamarkan sosok gagah seorang Brom?
"Siapa nama pendayung itu? Brom, ya?"
"Brom, Bram. Atau, ah, ya! Mungkin  saja Brom!"
Aku terkulai. Sesal mencekikku, kenapa sampai silap kepada wajah pendayung itu.
Pagi-pagi sekali, tanpa menunggu Suk, kembali aku ke Lok Baintan. Berharap bertemu kembali lelaki pendayung itu. Dari ramainya perahu dan beragam tawaran memenuhi telinga ini, hingga sungai lengang, tak kulihat perahu yang lambungnya bertuliskan;Â Cinta Larat.
Kuputuskan hari ini pulang ke Jakarta. Hatiku alangkah galaunya. Percuma berada di sini kalau galau yang menjerat, juga menjerat tanganku untuk tak mengalir jernih menuliskan imajinasi di layar laptop. Hingga tanpa sengaja aku menabrak dada seseorang saat aku berbalik. Tuhan, dia lelaki itu. Wajahku bersemu merah. Kenapa tiba-tiba kami bisa bertemu. Tuhan benar-benar baik kepadaku.
"Brom! Kau ada di sini!"
"Ya, Tuhan telah mempertemukan kita!"Â
Kupeluk dia erat-erat seolah tak ingin lepas lagi. Lupakan tentang cerita Suk. Lupakan pendayung itu. Pendayung itu bukanlah Brom.