Dia mendekatiku. Tersenyum ramah. Senyum pertama yang dia lontarkan setelah sedari tadi wajahnya datar tanpa riak.Â
Sekelebat dia mencabut lembaran sepuluh ribu dari tanganku. Dia bergegas mengambil dayung, dan menjauh. Perahunya dengan sabar diterima sungai.Â
"Pak! Tunggu!" jeritku. Dia tak menoleh. Kumasukkan kembali lembaran uang ke dalam tas, saat seseorang menepuk pundakku.
"Hai, kenapa kau mau naik perahu orang itu? Baru kau yang berani naik perahunya, juga makan-minum di situ." Sesosok perempuan bertubuh gempal, berbibir tebal, berdiri di belakangku. Dia Suk, perempuan yang menjadi pemandaku sampai beberapa hari ke depan.
"Memangnya kenapa?"
"Salahku tak mewanti-wanti dari tadi. Kupikir berapa banyak perahu di Lok Baintan. Mustahil takdirmu menumpang di perahunya. Tapi aku salah. Harusnya juga, aku tadi bersamamu. Kau ngotot pergi sendiri. Mau dibilang apalagi!"
Aku membonceng di motornya. Kami menuju penginapan dengan rasa penasaran yang berkesiur di hati ini.Â
Seperti kemarin, setelah mengantarku sampai ke kamar penginapan, Suk akan pergi. Tapi kali ini kutahan langkahnya yang gegas.
"Ada apalagi?"
"Tentang pendayung itu. Ceritakan kepadaku!"
"Pokoknya jangan pernah naik perahu lelaki itu! Kau tahu, dia itu mengidap penyakit Aids!" Dia seakan berbisik. Tubuhku seolah terdesak ke belakang.Â