Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lok Baintan

8 Maret 2019   09:49 Diperbarui: 8 Maret 2019   10:39 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain aku suka kepada Brom, bos redaksi tiba-tiba melemparkan pujian. Aku seorang wartawati yang meliput cerita tentang pagi di Lok Baintan. Entah kenapa, aku tambahkan cerita tentang sosok Brom. Bos redaksi seakan tercekik. Betapa salah satu foto yang menampakkan sosok Bram, membuatnya setengah gila. 

Hahaha, kuanggap wajar. Di usia menjelang empat puluh, apalagi belum menikah seperti si bos, hal yang wajar membuatnya histeris melihat sosok eksotis itu.

"Kenapa kau tak ajak dia ke Jakarta? Dia bisa menjadi foto model top di majalah kita," sesal si bos seakan merutuk.

"Lho, dia kan ada pekerjaan! Hidupnya di laut, bukan di bawah siraman lampu dan blitz kamera. Ya, kalaupun ada waktunya cuti, dia pasti menghabiskannya di Lok Baintan atau daerah eksotis lain di Kalimantan Selatan. Untuk apa ke Jakarta? Dia sudah bosan melihat kota-kota besar, juga melihat perempuan-perempuannya."

Si bos mungkin tersindir. Sesaat dia melupakan Brom, meski sesekali ketika jeda rutinitas yang berat, masih sempat menanyakan apakah aku masih berkomunikasi dengan Brom.

"Tak pernah lagi setelah pertemuan pertama kami!" dustaku. Padahal betapa sering kami bertelepon. Hingga entah karma dari dusta, saat aku meliput cerita tentang Pulau Komodo, ponselku tercebur laut. Seluruh nomor kontakku hilang, termasuk nomor kontak Brom. Kau tahu, betapa masygul rasanya.

Di pagi ini entah sudah tahun keberapa, aku menyengaja singgah ke mari. Bukan untuk menulis sesuatu, karena aku bukan lagi seorang wartawati. Pekerjaan dengan jibunan rutinitas, membuatku memilih hengkang dan memilih menjadi penulis novel. Ternyata lebih asyik, kendati tak terlalu bombastis penghasilannya seperti saat menjadi wartawati. Yang penting hati puas.

"Isah!" 

Kuseruput kopi dan menoleh ke arah suara itu. Tak ada sesiapa. Mungkin hanya suara angin lalu. Lelaki pendayung sekaligus pemilik warung terapung, juga tak bersuara. Dia tengah bersandar di tiang penyangga atap warung. Sengaja aku memang mengajaknya menelusuri sungai sambil menyeruput kopi dan beberapa panganan. Kesengajaan yang kemudian serupa pupuk yang ditaburkan ke palung imajinasi. 

Lihat saja, meski diselang-selingi menyeruput kopi dan mengicip makanan, tanganku lihai bermain di tuts laptop. Cerita sangat mengalir, tajam dan dalam.

"Isah!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun