Dua hari berselang, dan kami memulai rutinitas sehari-hari di rumah, Ompung datang mendekati dan menggenggam jemariku. Katanya, "Hayati bilang kau ada hadiah untuk Ompung." Jantungku berdegup kencang. Bola mataku basah. "Apa itu, Mariam?"
Aku bungkam.
"Kenapa diam?"
"Aku takut Ompung gundah."
"Tak mungkin, Mariam. Berikanlah hadiah terbaikmu untuk Ompung.!"
Aku beringsut ke kamar. Sepasang sarung tangan kuambil dari bawah bantal, lalu memberikannya kepada Ompung dengan kepala terkulai.
"Wah, sepasang sarung tangan? Aduh.... Paompu tersayang!" Dia memelukku.
"Tapi, Ompung."
"Ompung tahu kau sungkan memberikan sarung tangan ini karena jari-jemari Ompung tak lengkap, kan? Hah, tak apalah itu. Jemari tangan kiri Ompung memang tak lagi ngilu sebab telah ludes dibabat batang karet. Tapi jemari tangan kananku kan masih utuh dan butuh kehangatan." Matanya berbinar. "Terima kasih Mariam atas segala usahamu ini!"
Jingga jatuh di halaman depan rumah. Sebentar lagi maghrib. Kususut air mata sambil mendengar Ompung memuji-muji hasil karyaku.
---sekian---