Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sarung Tangan Ompung Lipah

15 Februari 2019   10:44 Diperbarui: 15 Februari 2019   11:22 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski kutahu semua itu adalah kesukannya. Bisa saja sugi lebih nikmat dirasanya. Atau, tersebab dia gundah melihatku berubah tanpa dia sendiri tahu musababnya. Dia pasti kecewa, aku mulai berusaha berbohong. Aku mulai menyimpan rahasia-rahasia yang sebelumnya selalu kubuka lebar baginya. Hatiku tak berdaun tingkap, tak pula berpintu, plong serupa gorong-gorong. Namun beberapa hari tersudahi, hatiku seolah memiliki banyak daun tingkap. Bergembok, berkunci-kunci. Memiliki pintu. Berpalang kayu, berkunci-kunci. Kau pasti memendam asmara yang geliat dari keterdiamanmu! Kurasakan di mata Ompung seperti berkata begitu.

"Tak ada yang asing, Ompung. Aku masih Mariam yang dulu," jawabku. Kunikmati suapan nasi terakhir, lalu menyeruput teh hangat dan mengakhiri ritual makan pagi dengan mengusap lingkaran mulut dengan lap tangan.

"Kau sering mengkhayal berlarut malam, kan? Ompung tahu kau selalu alpa mengecilkan nyala teplok. Padahal selama kita bersama, kau gadis yang teliti. Apakah di malan-malam gelap kau melamunkan seorang lelaki? Siapa dia?"

"Taklah pula paompu Ompung ini memikirkan lelaki. Aku harus bisa membahagiakan Ompung dulu, baru menggelinjing memikirkannya."

"Ya, tak apalah, Mariam! Kau sudah besar dan layak dilamar orang. Tapi berceritalah kepadaku tentang lelakimu. Aku tak ingin kau terkena dusta. Sakit nian, Mariam! Seperti sakitnya hatiku ketika Ompung laki-lakimu menghilang bersama peremuan lain, ketika aku mengandung umakmu. Dia suami tak bertanggungjawab. Bertemu perempuan mengkilat dan bergiwang emas-berlian, pupuslah niatnya sebagai suami sekaligus calon ayah. Tapi sudahlah, itu hanya remah-remah lampau! Tak perlu menyesali masa yang tersudah." Dia mengakhiri kegiatan bersugi.

"Aku tak akan membohongi Ompung," janjiku.

"Juga tentang jemari tanganmu yang bergaris-garis luka itu?" jebaknya. Kepalaku terkulai. Mulut ini terjahit rapat. Taklah ada suara tercampak selain membiarkan Ompung ke luar rumah.

"Ompung ke mana?" teriakku.

Tak ada suara. Semua hening. Suara gordang sambilan---gendang sembilan---mengumandang dari pusat kampung. Salah seorang putri keturunan raja-raja, sedang disunting seorang dari kota. Kabarnya calon suaminya itu seorang pejabat dan pemilik beberapa usaha rumahan.

* * *

Gelisah menunggu. Dingin menggila dengan hujan angin merapat dinding rumah meratap-ratap. Tempias turun di ambang jendela. Pintu berngiat-ngiot diterjang angin. Ah, gigilku datang sehingga mesti menungkupkan sarung sampai sepundak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun