Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sarung Tangan Ompung Lipah

15 Februari 2019   10:44 Diperbarui: 15 Februari 2019   11:22 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu belakangan ini, Ompung Lipah sering mengeluhkan jari-jemari tangannya. Jari-jemari yang kurus itu, selalu saja ngilu setiap shubuh. Apalagi ketika dia menderes batang karet di kebun Sutan Mangedar di Bariba, ngilu itu bertambah menjalar. Dia kerap memutuskan beristirahat sebentar demi meluruskan jari-jemarinya. Tentu akibat itu, dia lamban bekerja. Berimbas ke masalah penghasilannya yang menurun.

Aku kasihan kepadanya. Sudah hampir empat tahunan ini aku membenalu Ompung. Dulu semasa ayah dan umak hidup, taklah serisau ini hatiku. Ayah dan umaklah yang membela hari-hariku sehingga remaja. Mereka yang setia memandikan, memakaikan baju dan segala rutinitas yang remah-remah kepadaku. Tersebab aku taklah seperti orang kebanyakan.

Sejak lahir, kedua belah kakiku telah memiliki kelainan. Dua-duanya kisut serupa cabe keriting. Bergerak saja tak hendak. Hingga sampai sekarang aku tiada sanggup berjalan. Aku hanya mampu menggeleser di atas lantai papan. Begitu harus mandi atau buang air besar, betapa repotnya mengurusiku.

Aku harus digendong ke pemandian umum Aek Soro---sungai kecil yang membelah kampungku dengan rimba di seberang. Tubuhku dibebat kain basahan. Segala lekak-lekuk tubuhku dijalari tangan-tangan. Disabuni sampai ke selangkangan. Terkadang geli, apalagi usiaku di ambang mengkal. Namun yang menggelisahkan tatkala buang air besar. Aku menenggelamkan pantat di air sungai yang dangkal. Aku malu ketika ayah atau umak melihat kotoranku melompat-lompat ke hilir. Tapi mereka sudah biasa, dan mafhum.

Akhirnya pertalian kasihku dengan kedua orangtua terpisah maut. Ayah meninggal karena bertarung dengan babi ketika menyadap nira di rimba pedalaman. Mayatnya dibawa pulang dengan luka tusuk taring babi hampir di sekujur tubuhnya. Itulah  yang membuat hati umak serupa dirajam. Dia murung bermalam-malam yang sungsang. Akibatnya, dia menyusul ayah dua bulan kemudian.

Aku pun diambil-asuh Ompung Lipah. Si renta yang selalu tertunduk-tunduk dengan punuk yang meninggi itu, memberikanku segala kecintaan yang dia punya. Dia mencari penghidupan laksana mesin. Pagi-pagi menderes karet. Siang hari mengumpulkan lidi kelapa untuk dibuat sapu atau pergi mengais rejeki apa saja demi lembaran hepeng---uang. Hasilnya tentu tak sepadan dengan lelah. Tapi jadilah sebagai penambah nasi berlauk ayam paling tidak terhidang sekali seminggu di atas tikar pandan.

Pun dia membuatku bagaikan majikan, dan dia menjelma budak belian. Diremasnya hari-hari beristirah demi membuatku senang. Dia tak jijik menyediakan baskom besar untukku membuang air kecil atau besar. Dia tahan membawa air di ember, lalu membasuh tubuhku hingga litak---basah---untukku mandi. Karena manalah sanggup rentanya menggendongku ke Aek Soro. Tulang-tulangnya pasti berkeriut-keriut, kalau pun tak sampai patah.

Itulah yang membuatku memendam beribu kasihan kepadanya. Hanya saja taklah ada niat tersampai demi memberikan sesuatu yang lebih. Kecuali beberapa minggu belakangan ini, sejak jari-jemari Ompung Lipah kerap ngilu, aku memperoleh ide yang dilemparkan Kak Hayati.Kak Hayati tetangga berjarak tiga rumah dari rumah Ompung Lipah. Dia sekolah kejuruan, yang melulu mempelajari tentang praktek keputrian, meski masih dibaringi pelajaran umum. Dia cerdas memasak. Menjahit baju pun tak lagi penat menunggu.

"Baiklah kau buatkan saja dia sarung tangan!" usul Kak Hayati ketika kuutarakan tentang ngilu yang menggelayut jari-jemari tangan Ompung Lipah. "Agar jari-jemari tangannya hangat. Menurut kakak, dia diserang rematik."

"Apakah bisa mati dibuatnya?" Aku melotot. Takutku menyambuk.

"Mati dan hidup di tangan Allah, Mariam! Tidur pun orang bisa mati."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun