Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Koleksi Bapak

11 Februari 2019   11:31 Diperbarui: 11 Februari 2019   11:39 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang lain biasanya senang mengoleksi prangko, sepatu, jam tangan, batu akik atau apapun yang bisa dijadikan prestise. Berbeda dengan Bapak. Selalu setia dengan koleksi yang aneh-aneh. Lima belas tahun menjelang pensiun dari perusahaan plat merah itu, dia malahan mengoleksi cacing gelang. Koleksi menjijikkan dan memuakkan.

Hanya saja, Bapak bisa memaklumkan Ibu sebagai penguasa mutlak rumah tangga. Kebetulan Ibu menjadikan halaman belakang rumah sebagai kebun kecil, dengan aneka sayur-sayuran, juga apotik hidup. Mendengar penjelasan Bapak, dia yang awalnya kesal dan ingin mengusir sekaleng biskuit cacing gelang itu ke dalam selokan depan rumah, akhirnya mempersilahkan Bapak menanamnya di seputaran kebun.

"Kalau banyak cacing, tanah akan gembur dan subur. Kalau tanah gembur dan subur, tanaman Ibu akan berkembang pesat." Begitu bijaksananya lelaki yang kupanggil Bapak itu. Mulutnya memang manis. Dan manisnya itu bukan tipuan apalagi imitasi, apalagi bercampur dengan bahan kimia. Kendati aku, Bang Herman dan Bang Liban masih mau protes, rasanya tak tega menghapus senyum Ibu yang membiarkan Bapak mengakrabkan cacing gelangnya dengan tanah kebun.

Hasilnya ternyata lumayan jitu. Saat harga sayur-mayur di luar sana melonjak tinggi, Ibu malahan panen. Dia menghidangkan aneka sayur hasil kebun di atas meja makan. Tampilan dan baunya mengundang selera. Tapi itu hasil tanah dan cacing. Aku bergidik dan memilih ke luar rumah dengan alasan hendak menemui teman.

"Sayuran itu tak terbuat dari cacing. Ayo, makan! Jangan sampai Bapak tersinggung. Herman, Liban, mau ke mana lagi." Ibu berbicara tegas. Tawaku tertahan. Meja makan pun ramai oleh decap. Hmm, makan malam yang indah. Ternyata cacing tak membuat sayuran itu kehilangan rasa nikmat.

Sejak itu, kami, anak-anak Bapak dan Ibu,  tak lagi merisaukan cacing gelang itu. Kami terbiasa, kemudian melupakannya. Apotik hidup Ibu juga tak hanya mampu memenuhi bakal obat herbal sekeluarga. Malahan berlebihan, hingga dibagi ke tetangga. Bahkan dititipkan ke pedagang sayuran untuk dijual.

"Hasil cacing gelang, enak, kan!" canda Ibu.

Tak puas dengan koleksi cacing gelang itu, Bapak kembali membuat geger. Berhubung dia kasihan melihat sepetak kolam di belakang rumah yang tak pernah kering airnya, dan saat kemarau menyebarkan bau amis sebab tak berpenghuni,  suatu hari sepulang dari kampung, dia membawa karung berisi sesuatu yang bergerak-gerak. Kami pikir awalnya ular. Ibu sampai berlari ke dapur mengambil sapu ijuk bergagang rotan. Untung gagang sapu ijuk itu bisa ditahan Bapak, hingga tak mengenai karung. Lalu terdengar suara krok yang keras, lalu ramai. Tahulah kami isinya kodok.

"Apaan sih Bapak membawa kodok ke rumah. Kalau mau diternakkan dan dimakan, itu kan haram!" Bang Liban yang pertama protes. Ibu, Aku dan Bang Herman mengamini. Tapi si Bapak hanya tersenyum geli.

"Kodok ini kodok yang bersuara bagus." Dia memulai pembelaannya.

"Mana ada kodok yang bersuara bagus!" Ibu manyun sambil membanting gagang sapu ke lantai.

"Pokoknya, tunggu saja perkembangan selanjutnya. Sekarang banyak nyamuk, kan? Kalian suka diganggu? Kalian juga sukar tidur, kan?" Pembicaraan Bapak terkadang bercabang-cabang, hingga tak tahu ke mana arah tujuannya.

"Terserahlah, Pak!" Ibu pergi ke dapur. Dan ribut-ribut pun usai.

Ternyata apa yang dikatakan Bapak ada buktinya. Beberapa hari setelah kodok-kodok itu mendiami sepetak kolam di belakang rumah, nyamuk yang biasanya ramai setiap malam tiba, sedikit berkurang. Otakku bertambah rileks saat belajar, atau sehabis bertengkar dengan pacar. Suara-suara kodok itu seolah membawaku ke alam pedesaan. Membuatku sejenak melupakan masalah dan hiruk-pikuk kota. Apa yang kurasakan, juga dirasakan dua abangku dan Ibu. Akhirnya seperti biasa kami melupakan koleksi aneh Bapak, dan menikmati manfaatnya.

Lalu suatu senja di hari ketigapuluh kodok-kodok itu menjadi anggota keluarga kami, Pak Sarjo dan istri bertamu. Ketika dipersilahkan Ibu masuk, dan mereka mulai meributkan masalah kodok, sadarlah kami bahwa kodok Bapak telah mengganggu ketentraman mereka.

Dengan pelan-pelan Ibu berkata, "Mohon maaf, Pak dan Bu Sarjo. Kalau memang kodok-kodok itu telah mengganggu kenyamanan kalian, kami akan membuangnya kembali ke kampung."

"Oh, ini salah paham." Pak Sarjo cepat menyela. "Malahan kami senang setiap malam mendengar suara kodok itu. Saya yang insomnia, bisa lebih lelap tidur. Vertigo istri saya juga hilang karena suara ramai kodok-kodok itu. Bukan begitu, Bu?" tanya Pak Sarjo kepada istrinya. Yang ditanya langsung mengangguk sambil tersenyum.

"Jadi maksud Bapak?" Ibu akhirnya menghembuskan napas lega.

"Kalau boleh, kami mau minta seekor-dua untuk ditaruh di belakang rumah kami."

Selain cacing dan kodok, masih ada koleksi aneh Bapak. Seperti senang mengoleksi catatan harian yang ditulisnya. Kalau orang lain, mungkin menulis catatan harian pada saat tertentu saja, misalnya ketika galau atau sedang senang bukan main. Kemudian catatan itu, seiring waktu berlalu, menjadi santapan tempat sampah. Bedanya dengan Bapak, dia menulis catatan harian sejak bangun pagi sampai menjelang tidur di malam hari. Dia selalu mengantongi pena dan secarik kertas ke mana saja. Termasuk ke kakus.

Maka, aku sering berpikir, dia lebih banyak menulis catatan, ketimbang menjalani hidup sehari-hari. Sekali aku bertanya, apa yang Bapak tulis ketika berada di kakus. Dia menjawab dengan tawa.

Setiap malam dia ibarat introspeksi atas kegiatannya seharian lewat membaca catatannya. Kemudian dia tidur, setelah lebih dulu menyimpan catatannya di dalam peti kayu di dekat lemari.

"Bapak suka mengoleksi yang aneh-aneh. Apakah Ibu tak pernah protes?" tanyaku saat hanya aku dan Ibu yang ada di rumah.

"Selama dia tak mengoleksi perempuan, Ibu tak mau ambil pusing."

* * *

Belum genap empat puluh hari Bapak meninggal, tiba-tiba Ibu membuat kami, anak-anaknya, tercekat bukan kepalang. Masih sedih rasanya sepeninggal lelaki itu. Tak lekang pula di benak kebiasaannya mengoleksi benda-benda aneh. Seringkali sesuatu atau tingkah-laku yang kita benci pada diri orang dekat kita, menimbulkan kangen tak terkira ketika dia sudah hilang dari permukaan bumi. Begitu pula yang kurasakan, juga abang-abangku. Dan semuanya tercerabik oleh perbuatan Ibu.

Di meja makan kami berkumpul. Seperti ada yang kurang. Lima buah bangku yang selalu terisi setiap kali ada pertemuan keluarga, kini tersisa satu buah bangku kosong. Bangku milik Bapak. Aku menoleh ke arah Bang Herman. Bang Herman membuang wajah, dan menatap Bang Liban, lalu beralih memerhatikan mata Ibu yang berkaca-kaca.

"Bu." Pelan sekali Bang Herman berbicara. "Tanah kuburan Bapak masih basah. Kami, anak-anak Ibu, pun belum memikirkannya. Dan sampai kapan pun kami tak mau memikirkannya. Kenapa Ibu sampai mengumpulkan kami bertiga hanya untuk membicarakan pembagian harta warisan?"

Meskipun tinggal aku dan Ibu yang menetap di rumah ini, ternyata Bang Herman lebih dulu tahu tujuan Ibu mengumpulkan kami. Kutatap wajah perempuan itu. Tiba-tiba muncul rasa kurang simpatiku kepadanya.

Pelan-pelan, meskipun dengan suara berat, akhirnya Ibu mulai berbicara. Bahwa tujuannya memanggil kami semua, bukanlah untuk membagi harta warisan yang kami anggap berharga. Malahan, dia mengatakan, harta itu pada awalnya kami benci dan menjadi gunjingan yang nikmat selama beberapa hari atau minggu.

Tibalah Ibu pada topik pertama. "Ibu akan menyerahkan warisan Bapak, sebab tubuh yang renta ini tak mungkin lagi mengelolanya, yaitu cacing gelang!" Kami semua tersentak. Saling tatap, seolah tak ingin mendapat warisan menjijikkan itu. "Dan meskipun kau ingin menolak, Ibu telah berniat memberikan warisan seluruh cacing gelang itu untuk kau pelihara, Liban!"

Wajah Bang Liban bersemu merah. Tapi karena pendiam dan tak mau membantah, dia hanya menggerakkan kepalanya, antara mengangguk dan menggeleng.

"Warisan kedua yang kalian pasti sudah tahu, adalah kodok di kolam belakang itu. Semuanya harus kau urus, Herman." Ibu sedikit keras berkata kepada Bang Herman. Di antara anak-anak Ibu, dialah yang paling sering protes.

"Tapi, bagaimana aku mau memeliharanya? Rumahku tak akan cukup menampungnya. Apa tanggapan istriku?" Bang Herman menatap ke arah Bang Liban, seolah meminta dukungan.

"Iya, apalagi aku. Apa tanggapan mertuaku kalau sampai cacing gelang memenuhi rumahnya." Dia akhirnya mendukung Bang Herman, dan juga mendukung dirinya sendiri.

"Dan kau, Evi. Jatahmu adalah catatan harian Bapak!"

"Aku?" Terbayang aku catatan harian itu. Terbayang peti penyimpanannya. Aduh, bukankan itu akan menyemak kamarku?

Ibu  menenangkan kami semua. Bahwa semua warisan Bapak itu tak mesti harus kami pindahkan dari tempat semula. Kami hanya merawatnya, hingga kenangan tentang Bapak, akan tersimpan rapi bersama koleksi-koleksinya.

"Dengan koleksi Bapak tetap ada dan hidup, Ibu merasa dia masih ada di antara kita."

* * *

Sesudah pertemuan itu, keluh-kesah merajalela di mulutku dan dua abangku. Begitulah kami, sangat sayang kepada Ibu. Meskipun perintahnya kerap kali membuat kami ingin menolak mentah-mentah, tapi di hadapannya kami takluk. Di belakangnya kami kasak-kusuk.

Awal mulanya Bang Liban malas-malasan mengurusi cacing gelang itu. Terkadang dia tak datang sesuai jadwal, hingga tugasnya diambil alih Ibu dan aku. Banyak kali alasannya, dari urusan kantor bertumpuk, hingga membetulkan atap rumah mertua yang bocor.

Tapi ketika berkenalan dengan Ko Aman, yang membuka toko obat di Pasar 16 Ilir, hampir setiap hari Bang Liban ada di rumah. Dia seolah bercinta dengan cacing gelang itu. Ko Man yang meminta Bang Liban membawa contoh cacing gelang itu ke tokonya. Ko Man pula yang mengatakan cacing gelang koleksi Bapak adalah cacing gelang super yang ampuh mengobati tipus.

Tak butuh waktu lama, Bang Liban menyewa lahan tetangga yang kosong terbengkalai, lalu ditanami cacing gelang. Dia tak lagi harus mondok di pondok mertua indah. Tapi bisa mengkredit rumah dengan bisnis cacing gelangnya, dan tentu saja disokong gaji bulanannya yang kecil dari perusahaan yang kecil itu.

Setali tiga uang dengan Bang Liban, betapa malas Bang Herman mengurusi kodok di kolam belakang. Terkadang teleponnya yang singgah di rumah, mengabarkan dia ada tugas di luar kota. Atau sekali-dua mengeluhkan sakit kepalanya kumat. Ibu yang jijik mengurusi kodok-kodok itu, akhirnya menyerahkan tugas Bang Herman untuk kuselang-selingi dengan kesibukanku kuliah.

Bang Herman kemudian sangat tiba-tiba, tanpa jadwal berkunjung untuk mengurusi kodok-kodok itu, datang bersama sahabatnya. Sahabatnya itu penggila kodok. Dengan meminta restu dari Ibu, akhirnya Bang Herman menyerahkan beberapa ekor kodok itu kepada sahabatnya. Kelak Bang Herman bertambah sukses, karena sahabatnya kemudian menjadi walikota suatu kota, menjadi gubernur suatu provinsi dan menjadi presiden kami.

Mengenai catatan harian koleksi Bapak, entah kenapa seolah menghipnotisku. Berhari-hari aku membacanya, hingga tak ada yang tersisa dari catatan harian itu. Kemudian kuulang lagi membacanya dari hari pertama Bapak mulai menulis catatannya. Dan efek baikknya, aku tiba-tiba bisa menulis cerpen. Salah satu cerpen itu kuserahkan untuk engkau baca.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun