Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Koleksi Bapak

11 Februari 2019   11:31 Diperbarui: 11 Februari 2019   11:39 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pokoknya, tunggu saja perkembangan selanjutnya. Sekarang banyak nyamuk, kan? Kalian suka diganggu? Kalian juga sukar tidur, kan?" Pembicaraan Bapak terkadang bercabang-cabang, hingga tak tahu ke mana arah tujuannya.

"Terserahlah, Pak!" Ibu pergi ke dapur. Dan ribut-ribut pun usai.

Ternyata apa yang dikatakan Bapak ada buktinya. Beberapa hari setelah kodok-kodok itu mendiami sepetak kolam di belakang rumah, nyamuk yang biasanya ramai setiap malam tiba, sedikit berkurang. Otakku bertambah rileks saat belajar, atau sehabis bertengkar dengan pacar. Suara-suara kodok itu seolah membawaku ke alam pedesaan. Membuatku sejenak melupakan masalah dan hiruk-pikuk kota. Apa yang kurasakan, juga dirasakan dua abangku dan Ibu. Akhirnya seperti biasa kami melupakan koleksi aneh Bapak, dan menikmati manfaatnya.

Lalu suatu senja di hari ketigapuluh kodok-kodok itu menjadi anggota keluarga kami, Pak Sarjo dan istri bertamu. Ketika dipersilahkan Ibu masuk, dan mereka mulai meributkan masalah kodok, sadarlah kami bahwa kodok Bapak telah mengganggu ketentraman mereka.

Dengan pelan-pelan Ibu berkata, "Mohon maaf, Pak dan Bu Sarjo. Kalau memang kodok-kodok itu telah mengganggu kenyamanan kalian, kami akan membuangnya kembali ke kampung."

"Oh, ini salah paham." Pak Sarjo cepat menyela. "Malahan kami senang setiap malam mendengar suara kodok itu. Saya yang insomnia, bisa lebih lelap tidur. Vertigo istri saya juga hilang karena suara ramai kodok-kodok itu. Bukan begitu, Bu?" tanya Pak Sarjo kepada istrinya. Yang ditanya langsung mengangguk sambil tersenyum.

"Jadi maksud Bapak?" Ibu akhirnya menghembuskan napas lega.

"Kalau boleh, kami mau minta seekor-dua untuk ditaruh di belakang rumah kami."

Selain cacing dan kodok, masih ada koleksi aneh Bapak. Seperti senang mengoleksi catatan harian yang ditulisnya. Kalau orang lain, mungkin menulis catatan harian pada saat tertentu saja, misalnya ketika galau atau sedang senang bukan main. Kemudian catatan itu, seiring waktu berlalu, menjadi santapan tempat sampah. Bedanya dengan Bapak, dia menulis catatan harian sejak bangun pagi sampai menjelang tidur di malam hari. Dia selalu mengantongi pena dan secarik kertas ke mana saja. Termasuk ke kakus.

Maka, aku sering berpikir, dia lebih banyak menulis catatan, ketimbang menjalani hidup sehari-hari. Sekali aku bertanya, apa yang Bapak tulis ketika berada di kakus. Dia menjawab dengan tawa.

Setiap malam dia ibarat introspeksi atas kegiatannya seharian lewat membaca catatannya. Kemudian dia tidur, setelah lebih dulu menyimpan catatannya di dalam peti kayu di dekat lemari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun