Pukul sembilan lebih sedikit, perempuan itu sudah berdiri di ambang pintu pagar. Cahaya matahari menyelinap dari sela rambutnya yang jarang. Seperti biasa, dia tersenyum ramah. Nampan seng yang dia junjung, turun perlahan. Disingkapnya penutup dari kain putih bersih itu.Â
Jujur, aku tak simpati kepadanya, juga apa yang dia bawa. Selalu kupasang muka masam, kendati dia menanggapi dengan senyuman. Bisa jadi dia tak memiliki perasaan. Karena bagaimanapun aku berusaha membuatnya kecewa, bahkan terluka, toh orang yang tak memiliki perasaan mustahil merasakannya.
"Ibu ada?"
Aku mengutuk dalam hati. Combro, combro! Istrikulah yang menyelamatkan muka perempuan itu. Tentu saja menyelamatkan combronya, dengan membeli belasan buah. Entah siapa nanti yang akan memakannya. Tapi anehnya, setelah aku selesai mengopi di warung pinggir jalan sembari membaca koran pagi, seluruh combro habis tak berbekas. Mangkok licin ibarat dijilat kucing. Kata istriku, dia suka combro. Anak-anak juga.
"Ada!" ketusku.
"Ada rasa baru lho, Pak!"
Aku melengos pergi. Suara istriku menyeruak dari pintu depan. Perempuan itu mendatanginya seakan menerabas pintu pagar. Lamat suara perbincangan mereka memenuhi pagi yang lengang.Â
* * *
Sejak pensiun sekitar setengah tahun lalu, tabiatku menjadi pemarah. Pasal sedikit bisa menyemak dan membuat rumah tak nyaman. Aku mulai sering bertengkar dengan  istri. Apalagi setelah kemunculan Mamot, perempuan penjaja combro itu.
Aku yang menggelarinya Mamot. Tubuhnya bongsor menyerupai gajah purba. Padahal namanya bagus, Zulkaidah. Dialah yang tiba-tiba serupa belati menggerogoti uncang keluargaku. Ya, tentu saja dengan kehadirannya setiap pagi, akan keluar kocek berdikit-dikit. Sementara yang mutlak menghasilkan uang (uang pensiun) hanyalah aku. Istriku melulu sanggup menjadi ibu rumah tangga. Dua anakku duduk di bangku SMA, masih muda-muda. Salahku kawin tua. Tapi aku menang sedikit, bisa mengawini perempuan yang usianya lebih muda lima belas tahun dariku.
Selain Mamot ibarat belati, aku juga anti combro. Makanan kampungan itu tak pernah sekalipun bersinggungan denganku. Keluarga besar Muradon---nama ayahku---masih turunan ningrat. Kalau tak ada camilan seperi roti, mungkin biskuit, atau lebih rendah kue basah. Akan halnya combro, tak bisakah kau membayangkannya? Menjijikkan!