Singkong parut dikepal-kepal oleh tubuh bergelambir dan bersimbah keringat. Bagian dalam combro diisi oncom atau bahan pangan lainnya. Wajarlah aku membenci combro. Wajarlah aku membenci Mamot. Tapi istriku dan anak-anak? Huh!
* * *
Pagi ini tak ada jeda bagiku keluar rumah. Yusna, adik istriku, berkunjung. Masih sempat aku menikmati pagi, duduk di teras sambil membaca majalah wanita. Tapi kedatangan Mamot telah menyulut kesal. Hatiku terbakar. Tambah terbakar lagi ketika istriku muncul disusul Yusna, seakan ingin menyambut tamu agung.
Mamot tersenyum penuh gairah. Seisi nampan berpindah tangan. Beberapa lembar uang berpindah tangan. Mamot mengucapkan terima kasih sambil tertunduk-tunduk. Dia sambilkan senyum kepadaku.
Andai Yusna tak ada, sudah kulabrak istriku. Tapi biarlah sekarang mereka bersantai. Mumpung Minggu. Anak-anak juga sedang asyik menonton tivi.
"Wah, makanan kesukaanku nih!" Itu suara Bing, anak sulungku. Buru-buru aku mencibir.
"Sepertinya tak bosan-bosan ya makan combro. Coba deh, Tante. Enak tenan!" Kini Dedek, anak bungsuku yang berceloteh. Dia terbahak. Aku meludah ke pot bunga.Â
"Ini makanan kesenangan Tante, lho! Tak usah dikasih tahu, pasti enak tenan." Yusna terkekeh. Dia masih sangat muda. Dia lebih tua tiga tahun dari Bing.
Perbincangan mereka tentang combro, membuat kesal ini membakar sampai ke ubun. Ingin ke warung kopi, pemiliknya sedang kondangan. Jadi, kuadem-ademkan hati sambil menyeruput kopi dan membaca majalah wanita yang seratus persen tak menarik.
"Coba tebak ini isi apa, Tante?"
"Hmm, isi cabe rawit!"