Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kereta Malam

6 Februari 2019   15:38 Diperbarui: 6 Februari 2019   20:43 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah jenuh menunggu sekian jam, akhirnya kereta api itu melaju membelah malam. Sebentar kutata traveling bag di bagasi atas, kemudian merapikan tempat duduk dari buku-buku yang tumpang tindih.

Masing-masing penumpang di kiri-kananku sibuk dengan kegiatannya sendiri. Seorang berceloteh kesal karena kipas angin banyak yang mati. Tapi aku hanya tersenyum tipis. Bertarung dengan panas di kelas ekonomi seperti ini sudah merupakan rutinitas yang membuat tubuhku kebal. Jadi, berkeluh-kesah percuma saja.

Duduk berseberangan denganku seorang perempuan bersama anak bermata bola. Mungkin umurnya sekitar tigapuluh lima atau tigapuluh enam tahun. Dia kelihatan cukup, eh sangat cantik. Meskipun kecantikan itu sudah tersaput keriput yang menyilet ujung matanya.

Sedari tadi dia hanya membisu. Matanya bertumpu pada sebuah novel tebal yang telah membuat setengah wajahnya tenggelam. Sedangkan anak di sebelahnya, sekali-dua masih berceloteh. Tangan mungilnya menunjuk ke luar. Menunjuk cahaya yang memendar di kaca jendela. Menunjuk-nunjuknya sampai cahaya itu pecah dan pudar.

Aku tiba-tiba teringat Imah, putriku. Apa kabarnya sekarang? Adakah dia aman bersama ayahnya? Ah, dia pasti aman. Kehangatan dan materi pasti menyamudera kepadanya. Tapi aku tidak yakin jiwanya damai. Kuingat betul betapa kesedihan menelaga di matanya, manakala aku dan ayahnya harus berpisah. Tepatnya bercerai.

Kukatakan di sini bahwa ayah Imah tidak menyetujui pekerjaanku sebagai sekretaris di sebuah perusahaan kontraktor besar di Palembang. Dan itu sudah dihembus-hembuskannya sejak kami pacaran. Karena pekerjaan sekretaris, apalagi itu di perusahaan kontraktor, tentu memaksaku harus lebih sering berada di luar rumah. Lebih sering pulang malam ketimbang sore-sore. Ya, ya. Itu memang resikonya. Sangat sepadan dengan pendapatanku yang terus-terang melampaui penghasilan ayah Imah.

Prinsipku, meskipun dia---maaf barangkali akan lebih afdol bila memanggilnya Sam---sangat tidak rela membiarkanku terus menjadi pekerja, tapi aku tetap harus bekerja. Aku tidak ingin menjadi perempuan yang hanya bertugas sebagai pelayan suami dan keluarga. Tapi berhak pula bekerja seperti lelaki. Toh, sekarang posisi perempuan dan lelaki sama saja. Seperti yang sudah dicanangkan Kartini sekian puluh tahun lewat. Bahkan aku sudah mafhum dan melumat berulangkali surat-suratnya dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.

Lalu apa sebenarnya ketidaksenangan Sam atas pekerjaanku? Ya, aku hanya melihat secercah jawaban dari matanya. Sam hanya iri melihat keberhasilanku.

Sam merasa kedigjayaan sebagai kepala keluarga, telah tergerus dengan pendapatan bulananku yang lebih dari cukup. Jadi, ketika dia mengamcam bercerai, terus-terang aku langsung mengiyakan. Tapi, Tuhan, kenapa sekarang aku merasa sedikit rapuh. Aku selalu teringat Imah. Teringat tawanya yang renyah setiap kali menyambutku pulang kerja. Meskipun itu dini hari sekalipun.

Ah, dia amat mirip dengan anak kecil bermata bola itu. Pasti badan mereka sama besarnya. Hmm, hampir tiga tahun kami tidak pernah bersua lagi. Walaupun sebenarnya kami tetap tinggal dalam satu kota. Dalam jarak yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekian menit.

"Melamun, Mbak?" Perempuan di seberangku itu akhirnya berbicara. Tapi bukan pada saat yang tepat. Karena dia telah tanpa sengaja mengejutkanku. Mencerabut khayalku tentang Imah, dan mungkin Sam.

"Ah, tidak!" kilahku. Kulihat anak di sebelahnya mulai menguap. Celotehnya hanya tinggal terdengar sekali-sekali. "Anak anda?"

"Ya!" Dia menutup novel tebal itu. Sebelum menutupnya, dia menyelipkan sehelai karton bergambar Snoopy di antaranya sebagai pembatas. "Anda mau ke Tanjung Karang?"

Aku mengangguk. Kutawarkan dia sebatang rokok. Tapi dia menolak. Matanya bercahaya melihat tumpukan buku-bukuku. Salah satu buku berjudul Perempuan-Perempuan Hebat, membuatnya antusias. Dia meminjam sebentar dan membaca prolognya. 

"Buku ini sungguh berbobot," ucapnya jujur.

"Itu buku kesayanganku. Sudah berulangkali kubaca. Bahkan setiap kata-kata penting di dalamnya sudah kutandai dan lekat di otakku. Dia telah membuatku merasa tegar."

Tegar? Ah, tidak! Mungkinkah aku dapat tegar setelah beberapa minggu belakangan ini aku selalu memimpikan Imah? Mungkinkah ketegaranku bukan sebentuk keegoisan? Aku telah menempatkan posisi Imah pada kondisi sulit. Dia masih anak-anak dan tidak mengerti perceraian. Tapi mengapa setelah tiga tahun berlalu, aku baru merasakan kegelisahan ini?

"Maaf, nama anda siapa?" tanya perempuan itu sambil mengulurkan tangan. "Namaku Ratna!"

Kusambut jabat eratnya dengan mengatakan, "Saraswati!"

"Saraswati? Oh, ya! Anda sang sekretaris hebat itukah? Aku pernah membaca profil anda di majalah perempuan. Apakah aku benar?"

Sambil tersipu aku menjawab, "Anda benar, Ratna. Tapi aku hanya perempuan biasa. Sama seperti anda."

"Kenapa, eh...mungkin lebih baik jika aku memanggil anda Mbak Saras, mengambil kelas ekonomi? Seharusnya duduk di kelas bisnis saja. Tidak apek seperti di sini."

"Aku lebih senang di sini. Lebih merakyat." Kulirik anaknya sudah tertidur pulas. Kubenarkan tangannya yang menggantung, agar tidak pegal ketika nanti terbangun. "Kau sendiri bekerja di mana?" Aku mecoba mengakrabkan diri.

Ratna tidak langsung menjawab. Tatapannya mengapung di atap gerbong. Ketika kembali memandangku, kulihat ada rasa malu memancar dari bola matanya. Tapi hanya sekejap. Selanjutnya dia sudah berceloteh panjang lebar.

Jujur kukatakan, aku sangat terkejut mendengar pengakuannya. Dia menceritakan bahwa pekerjaannya adalah sebagai tukang pijat. Atau dengan istilah yang diperhalus dan berkelas : massage. Diakuinya, pekerjaan tersebut memang cenderung ke perbuatan tidak senonoh. Tapi masih lebih aman ketimbang menjadi kupu-kupu malam. Dikatakannya juga bahwa dia masih memiliki suami di Jawa. 

"Kau tidak takut anakmu terpengaruh oleh profesimu?" tanyaku perlahan.

Dia tertawa sumbang. "Apa yang harus kutakutkan, Mbak? Ini adalah pekerjaanku. Profesiku.  Namun dia tidak tahu kalau bundanya hanyalah seorang tukang pijat. Karena selama aku bekerja, dia kutinggalkan di rumah susun bersama tetangga dan anak-anaknya."

"Kau sekolah sampai SMA, ya?" tebakku.
"Bukan.! Sarjana!"
Aku terhenyak. Peganganku pada tangan kursi mengencang. "Sarjana?"
"Ya, Mbak terkejut? Tapi ini adalah kenyataan. Aku harus hidup bagaimanapun caranya. Anakku juga butuh hidup, sekolah dan sebagainya. Semua itu perlu uang. Dan asal uang adalah dari hasil kerja."
"Jadi, sekarang kau mau mudik ke Jawa?"
"Ya, mudik selamanya."
"Kok?"

"Ya, meskipun tadi aku mengatakan tidak takut anakku terpengaruh terhadap profesiku, tapi toh aku seorang perempuan yang tidak ingin anaknya kelak hancur dan mengikuti jejak bundanya.

Aku ingin anakku memiliki harga diri. Memiliki pekerjaan terhormat seperti Mbak Saras." Dia melamun sejenak. "Pasti keluarga Mbak selalu hidup tenteram, ya? Pekerjaan Mbak terhormat. Penghasilannya pun terhormat." Dia tertawa lagi. Masih dengan nada sumbang. Aku membalasnya dengan senyuman yang barangkali kelihatan tidak mengenakkan. 

Sekonyong bayang-bayang Imah kembali mendatangiku. Menudingku dengan telunjuknya yang mungil. Kemudian berganti Sam yang gelisah dengan telapak tangannya yang terus berkeringat. Dia mungkin ingin mengatakan sekarang penyakit jantungnya bertambah parah.

Atau, ah....Apakah layar khayal itu bukan berganti sebaliknya? Mungkin saja Imah sekarang sudah melupakanku. Sebab telah ada seorang ibu pengganti. Dia dan Sam barangkali telah nyaman tanpa kehadiranku. Atau, adakah Imah tersiksa dengan ibu tiri yang kejam? Tidak! Membayangkannya saja aku tidak sanggup. 

"Mbak Saras melamun lagi?"
Kususut air mata yang tidak mau kompromi. Ratna mengangsurkan tissu kepadaku.
"Mbak menangis?"
"Aku hanya teringat Imah, anakku. Kangen barangkali." Aku mencoba berbohong. "Sudah beberapa hari aku tidak melihatnya."

Ratna terkesima. "Wah, aku tidak bisa setegar Mbak Saras. Berpisah dengan anakku seharian saja, rasanya seperti setahun. Apalagi sampai berhari-hari. Bisa-bisa aku gila," candanya. Tapi amat dalam menusuk hatiku. 

"Ah, kau bisa saja!"

"Pantas saja aku tidak bisa sehebat Mbak Saras. Menjadi orang hebat itu harus bisa membunuh perasaan yang melankolis. Seperti takut berpisah dengan anak.  Bukan begitu, Mbak?" lanjutnya semakin memperdalam tusukan di hatiku. 

Aku tidak menjawab. Karena tidak ingin diharubirukan olehnya, akhirnya aku pura-pura menguap. Dan dia benar-benar cepat tanggap. Sambil menidurkan anaknya di pangkuannya, dia mengatakan sudah mengantuk.

* * *
Stasiun kereta api di Tanjung Karang mulai ramai. Para penumpang hilir-mudik dengan wajah kuyu tersaput kantuk. Seperti biasa, menunggu mobil jemputan datang, aku selalu menikmati kopi hangat dan sepinggan mie rebus. 

Orang-orang di situ sudah sangat hapal denganku. Tidak seorang pun bermaksud mengganggu. Karena penampilanku bukanlah seperti seorang direktris kaya. Melainkan perempuan setengah baya dengan gaya jantan. Berkemeja dan celana jins. Menyandang traveling bag, serta mengantongi sebungkus rokok putih. Ini memang kusengaja. Selain rileks, juga membuat orang tidak berpikiran macam-macam.

Tapi kenangan tentang Ratna dan anaknya, selintas membuatku tidak nyaman duduk.  Mereka telah memberikanku pelajaran berharga. Bahwa sebuah keluarga itu lebih penting dari segalanya. Lebih penting dari prestise maupun prestasi. Juga dari harta melimpah-ruah.

Aku juga belakangan ini menyadari keadaan itu. Kesendirin dengan kemewahan hidup, tetap terasa ganjil. Aku selalu tidak memiliki tempat mencurahkan hati. Selain kepada mereka-mereka yang hanya bersedia berbagi omongan bisnis denganku. 

Lalu, apakah aku harus kembali kepada Imah dan Sam? Tidakkah ini memalukanku sendiri? Kalau memang mereka belum bertiga dengan rivalku, mungkin resiko yang kutempuh tidak terlalu berat. Tapi bagaimana kalau rivalku sudah ada dan memegang penuh manajemen bekas keluargaku itu? O, o... Sanggupkah aku tabah menerimanya?

Ya, sekarang aku harus menentukan sikap sendiri. Keeogoisan harus kuhilangkan, kalau aku tidak ingin menjamur dan menjadi manusia purba. 

Sambil menyeruput sedikit kopi panas, kuutak-atik keypad telepon selularku. Kucari nomor telepon selular Sam, yang diam-diam belum kuhapus. Tuhan, tiba-tiba dadaku berdegup kencang manakala mendengar nada sambung. Bantulah aku agar dapat tegar menerima segalanya.

Seseorang menjawab dari seberang dengan suara lembut, "Hallo Saraswati. Kau masih ingat menelepon kami? Tuhan, tiga tahun sudah kami menunggu dering telepon darimu." Suara Sam terdengar parau. 

"Ya, maaf, aku mengganggumu dini hari begini. Kalian baik-baik saja, kan?"
"Ya, kami sehat-sehat saja. Imah sekarang bertambah kurus."
Aku mendesah. "Bagaimana dengan istri... eh... maaf. Maksudku penggantiku. Apakah sudah..."

Sam cepat menyela. "Kami tetap mengharapkanmu Saraswati. Tidak seorang pun perempuan yang berhak menjadi Ibu Kartini di rumah kita. Hanya kau seorang!" Dia terdiam agak lama.

"Pulsa mahal, Sam!" Aku menggoda. Dia tergelak ragu-ragu.

"Saraswati, aku minta maaf atas semuanya. Aku terlalu egois. Jujur kukatakan, bahwa kepiawaianmu menjadi sekretaris telah menyulut kecemburuanku. Tapi itu dulu. Sekarang kami sangat menginginkanmu lagi. Tidak perduli apakah kau telah menjadi seorang direktur sekalipun. Tidak perduli apakah kau sesibuk apapun. Tapi kau adalah pilihan kami. Ibu kami."

"Aku bersedia, Sam. Aku akan kembali. Kita memang harus sama-sama mengerti hak dan kewajiban masing-masing."

Mendadak kudengar suara nyaring Imah. Dia memanggilku; Ibu. Tuhan, aku ingin cepat-cepat pulang. Aku ingin kembali ke pangkuan orang-orang yang mencintai dan menyayangiku. Ah, Kartini memang tidak pernah mengharapkan kaumnya melupakan kodratnya sebagai ibu keluarga, di samping tugasnya menjadi ibu kehidupan. 

Lama kudengar tawa Imah yang nyaring, sampai tanpa sadar matahari telah menyembul dari timur. Dan kopiku pun sudah dingin. Dan sepinggan mie rebus pun sudah mengembang. Seorang penjemputku sekonyong melambai di ujung peron. Aku tersenyum lega. Kubayar makanan dan minumanku, lalu bergegas menyongsong hari.
---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun