Ratna terkesima. "Wah, aku tidak bisa setegar Mbak Saras. Berpisah dengan anakku seharian saja, rasanya seperti setahun. Apalagi sampai berhari-hari. Bisa-bisa aku gila," candanya. Tapi amat dalam menusuk hatiku.Â
"Ah, kau bisa saja!"
"Pantas saja aku tidak bisa sehebat Mbak Saras. Menjadi orang hebat itu harus bisa membunuh perasaan yang melankolis. Seperti takut berpisah dengan anak. Â Bukan begitu, Mbak?" lanjutnya semakin memperdalam tusukan di hatiku.Â
Aku tidak menjawab. Karena tidak ingin diharubirukan olehnya, akhirnya aku pura-pura menguap. Dan dia benar-benar cepat tanggap. Sambil menidurkan anaknya di pangkuannya, dia mengatakan sudah mengantuk.
* * *
Stasiun kereta api di Tanjung Karang mulai ramai. Para penumpang hilir-mudik dengan wajah kuyu tersaput kantuk. Seperti biasa, menunggu mobil jemputan datang, aku selalu menikmati kopi hangat dan sepinggan mie rebus.Â
Orang-orang di situ sudah sangat hapal denganku. Tidak seorang pun bermaksud mengganggu. Karena penampilanku bukanlah seperti seorang direktris kaya. Melainkan perempuan setengah baya dengan gaya jantan. Berkemeja dan celana jins. Menyandang traveling bag, serta mengantongi sebungkus rokok putih. Ini memang kusengaja. Selain rileks, juga membuat orang tidak berpikiran macam-macam.
Tapi kenangan tentang Ratna dan anaknya, selintas membuatku tidak nyaman duduk. Â Mereka telah memberikanku pelajaran berharga. Bahwa sebuah keluarga itu lebih penting dari segalanya. Lebih penting dari prestise maupun prestasi. Juga dari harta melimpah-ruah.
Aku juga belakangan ini menyadari keadaan itu. Kesendirin dengan kemewahan hidup, tetap terasa ganjil. Aku selalu tidak memiliki tempat mencurahkan hati. Selain kepada mereka-mereka yang hanya bersedia berbagi omongan bisnis denganku.Â
Lalu, apakah aku harus kembali kepada Imah dan Sam? Tidakkah ini memalukanku sendiri? Kalau memang mereka belum bertiga dengan rivalku, mungkin resiko yang kutempuh tidak terlalu berat. Tapi bagaimana kalau rivalku sudah ada dan memegang penuh manajemen bekas keluargaku itu? O, o... Sanggupkah aku tabah menerimanya?
Ya, sekarang aku harus menentukan sikap sendiri. Keeogoisan harus kuhilangkan, kalau aku tidak ingin menjamur dan menjadi manusia purba.Â
Sambil menyeruput sedikit kopi panas, kuutak-atik keypad telepon selularku. Kucari nomor telepon selular Sam, yang diam-diam belum kuhapus. Tuhan, tiba-tiba dadaku berdegup kencang manakala mendengar nada sambung. Bantulah aku agar dapat tegar menerima segalanya.