Setelah jenuh menunggu sekian jam, akhirnya kereta api itu melaju membelah malam. Sebentar kutata traveling bag di bagasi atas, kemudian merapikan tempat duduk dari buku-buku yang tumpang tindih.
Masing-masing penumpang di kiri-kananku sibuk dengan kegiatannya sendiri. Seorang berceloteh kesal karena kipas angin banyak yang mati. Tapi aku hanya tersenyum tipis. Bertarung dengan panas di kelas ekonomi seperti ini sudah merupakan rutinitas yang membuat tubuhku kebal. Jadi, berkeluh-kesah percuma saja.
Duduk berseberangan denganku seorang perempuan bersama anak bermata bola. Mungkin umurnya sekitar tigapuluh lima atau tigapuluh enam tahun. Dia kelihatan cukup, eh sangat cantik. Meskipun kecantikan itu sudah tersaput keriput yang menyilet ujung matanya.
Sedari tadi dia hanya membisu. Matanya bertumpu pada sebuah novel tebal yang telah membuat setengah wajahnya tenggelam. Sedangkan anak di sebelahnya, sekali-dua masih berceloteh. Tangan mungilnya menunjuk ke luar. Menunjuk cahaya yang memendar di kaca jendela. Menunjuk-nunjuknya sampai cahaya itu pecah dan pudar.
Aku tiba-tiba teringat Imah, putriku. Apa kabarnya sekarang? Adakah dia aman bersama ayahnya? Ah, dia pasti aman. Kehangatan dan materi pasti menyamudera kepadanya. Tapi aku tidak yakin jiwanya damai. Kuingat betul betapa kesedihan menelaga di matanya, manakala aku dan ayahnya harus berpisah. Tepatnya bercerai.
Kukatakan di sini bahwa ayah Imah tidak menyetujui pekerjaanku sebagai sekretaris di sebuah perusahaan kontraktor besar di Palembang. Dan itu sudah dihembus-hembuskannya sejak kami pacaran. Karena pekerjaan sekretaris, apalagi itu di perusahaan kontraktor, tentu memaksaku harus lebih sering berada di luar rumah. Lebih sering pulang malam ketimbang sore-sore. Ya, ya. Itu memang resikonya. Sangat sepadan dengan pendapatanku yang terus-terang melampaui penghasilan ayah Imah.
Prinsipku, meskipun dia---maaf barangkali akan lebih afdol bila memanggilnya Sam---sangat tidak rela membiarkanku terus menjadi pekerja, tapi aku tetap harus bekerja. Aku tidak ingin menjadi perempuan yang hanya bertugas sebagai pelayan suami dan keluarga. Tapi berhak pula bekerja seperti lelaki. Toh, sekarang posisi perempuan dan lelaki sama saja. Seperti yang sudah dicanangkan Kartini sekian puluh tahun lewat. Bahkan aku sudah mafhum dan melumat berulangkali surat-suratnya dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.
Lalu apa sebenarnya ketidaksenangan Sam atas pekerjaanku? Ya, aku hanya melihat secercah jawaban dari matanya. Sam hanya iri melihat keberhasilanku.
Sam merasa kedigjayaan sebagai kepala keluarga, telah tergerus dengan pendapatan bulananku yang lebih dari cukup. Jadi, ketika dia mengamcam bercerai, terus-terang aku langsung mengiyakan. Tapi, Tuhan, kenapa sekarang aku merasa sedikit rapuh. Aku selalu teringat Imah. Teringat tawanya yang renyah setiap kali menyambutku pulang kerja. Meskipun itu dini hari sekalipun.
Ah, dia amat mirip dengan anak kecil bermata bola itu. Pasti badan mereka sama besarnya. Hmm, hampir tiga tahun kami tidak pernah bersua lagi. Walaupun sebenarnya kami tetap tinggal dalam satu kota. Dalam jarak yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekian menit.
"Melamun, Mbak?" Perempuan di seberangku itu akhirnya berbicara. Tapi bukan pada saat yang tepat. Karena dia telah tanpa sengaja mengejutkanku. Mencerabut khayalku tentang Imah, dan mungkin Sam.