Seseorang menjawab dari seberang dengan suara lembut, "Hallo Saraswati. Kau masih ingat menelepon kami? Tuhan, tiga tahun sudah kami menunggu dering telepon darimu." Suara Sam terdengar parau.Â
"Ya, maaf, aku mengganggumu dini hari begini. Kalian baik-baik saja, kan?"
"Ya, kami sehat-sehat saja. Imah sekarang bertambah kurus."
Aku mendesah. "Bagaimana dengan istri... eh... maaf. Maksudku penggantiku. Apakah sudah..."
Sam cepat menyela. "Kami tetap mengharapkanmu Saraswati. Tidak seorang pun perempuan yang berhak menjadi Ibu Kartini di rumah kita. Hanya kau seorang!" Dia terdiam agak lama.
"Pulsa mahal, Sam!" Aku menggoda. Dia tergelak ragu-ragu.
"Saraswati, aku minta maaf atas semuanya. Aku terlalu egois. Jujur kukatakan, bahwa kepiawaianmu menjadi sekretaris telah menyulut kecemburuanku. Tapi itu dulu. Sekarang kami sangat menginginkanmu lagi. Tidak perduli apakah kau telah menjadi seorang direktur sekalipun. Tidak perduli apakah kau sesibuk apapun. Tapi kau adalah pilihan kami. Ibu kami."
"Aku bersedia, Sam. Aku akan kembali. Kita memang harus sama-sama mengerti hak dan kewajiban masing-masing."
Mendadak kudengar suara nyaring Imah. Dia memanggilku; Ibu. Tuhan, aku ingin cepat-cepat pulang. Aku ingin kembali ke pangkuan orang-orang yang mencintai dan menyayangiku. Ah, Kartini memang tidak pernah mengharapkan kaumnya melupakan kodratnya sebagai ibu keluarga, di samping tugasnya menjadi ibu kehidupan.Â
Lama kudengar tawa Imah yang nyaring, sampai tanpa sadar matahari telah menyembul dari timur. Dan kopiku pun sudah dingin. Dan sepinggan mie rebus pun sudah mengembang. Seorang penjemputku sekonyong melambai di ujung peron. Aku tersenyum lega. Kubayar makanan dan minumanku, lalu bergegas menyongsong hari.
---sekian---