Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Pertemuan

4 Februari 2019   16:32 Diperbarui: 4 Februari 2019   17:18 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kapan, ya?"

"Sibuk?" kejarnya.

"Saya menunggu telepon anda saja."

Dia sangat berterimakasih. Digenggamnya tanganku erat-erat seolah tak ingin dilepas. Namun semua ini harus dihentikan. Aku tak mau dipuja-puji hanya oleh novel-novel itu.

* * *

Saleha akhirnya tak sabar bersua aku. Di malam yang sedikit berkabut, kami berjanji bertemu di sebuah kafe di kawasan Kesawan. Aku harus menjelaskan semuanya sebelum terlambat. Aku tak ingin dirundung kesalahan bertimpa-timpa saat orang yang pernah kucintai itu merindukan pelukan bayang-bayang semu. Saleha harus memahami kondisi ini. Termasuk mungkin orang-orang yang selalu memuja novel-novel itu. Aku tak ingin hidupku berujung kebohongan-kebohongan, yang menyebabkanku kembali kepada Pencipta tanpa bekal apa-apa, kecuali cap wajah sebagai penipu kelas berat.

Tapi jangan pernah menghakimiku. Semua kulakukan bukan tanpa sebab. Kau tak perlu tahu sekarang sebelum aku berterus-terang kepada Saleha. Tentang semuanya sehingga terang-benderang serupa pagi.

Mien, keponakanku, sengaja mengantarkanku dengan VW kodoknya. Bukan apa-apa, perempuan yang sebelumnya amat susah dimintai tolong ini, ternyata senang sekali saat aku meminta diantarkan ke kawasan Kesawan. Tanpa diperintah untuk yang kedua kali, dia langsung mengambil kunci mobil.

Brrm! Mobil melaju pelan.

 "Benar kakek mau bertemu seorang perempuan?" Mien senang memanggilku dengan sebutan kakek, sama seperti keponakan-keponakanku yang lainnya. Mungkin penampilanku yang kian renta ini penyebabnya. "Calon kekasih, ya?" Dia tertawa ketika kupelototi. "Ini jadi rahasia kita lho, Kek!"

Shit!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun